BANGGA MENJADI IBU
Hanya menjadi seorang ibu rumah tangga sering kali membuat sebagian perempuan merasa kurang percaya diri. Rasanya lebih keren jika dalam menulis biodata umpamanya, dikolom pekerjaan tertulis bukan IRT, tapi sesuatu yang menggambarkan adanya penghasilan atau jabatan publik. Apa hebatnya menjadi ibu rumah tangga yang full time mom dibandingkan ibu yang working mom? Tentu ada, minimal ibu yang bekerja punya penghasilan meskipun mungkin kecil, ibu yang berkarir bisa berbagi ilmu dan pengalaman dengan banyak orang, bisa juga karir dan pekerjaan jadi sarana aktualisasi diri bahwa ”inilah aku, aku juga mampu…”, atau paling tidak, ibu bekerja untuk menyenangkan orang tuanya yang telah menyekolahkan (tentu dengan biaya) dan berharap anaknya nanti bisa menjadi ’orang’.
Sebenarnya tidak masalah seorang perempuan hanya menjadi full time mom atau working mom. Semua itu adalah pilihan yang pasti ada harganya. Bekerja dan berkarir di luar rumah sering kali menimbulkan dilema tersendiri bagi seorang ibu yang memiliki bayi atau anak yang masih kecil. Belum lagi beban-beban di tempat kerja yang terkadang menimbulkan tekanan atau fitnah.Begitu pula sebaliknya ibu-ibu yang hanya mengabdikan hidupnya untuk keluarga sering terjebak pada rutinitas yang menjadikannya ’tertinggal’ dan seolah seperti ’katak di dalam tempurung’’. Jadi pasti setiap pilihan memiliki konsekuensi, tinggal dituntut kearifan bagaimana menyikapi konsekuensi-konsekuensi tersebut, dan menjadikan semua tantangan yang muncul menjadi peluang dimana apapun pilihan seorang ibu, dia tetap bisa eksis sebagai khalifah Allah yang diharapkan.
Adalah Kathy Peel, seorang penulis produktif yang berusaha merubah paradigma kaum perempuan yang berstatus hanya sebagai ibu rumah tangga untuk tidak menganggap sepele pekerjaan di dalam rumah tangga, dengan menyebut mereka sebagai manajer sebuah organisasi penting di dunia. Jika keluarga di ibaratkan sebuah perusahaan, ibu adalah sang manajer yang membawahi paling tidak tujuh departemen, demikian papar Kathy. Sang manajer harus melakukan analisa setiap hari secara rutin terhadap ketujuh departemen tersebut, yaitu departemen makanan, keuangan, rumah dan properti, proyek istimewa, anggota keluarga dan teman-teman, manajemen waktu, dan manajemen pribadi. Berikut petikan tulisan Kathy Peel seperti yang termuat dalam buku best seller-nya, Family Manager;
I oversee the most important organization in the world
Where hundreds of decisions are made daily
Where property and resources are managed
Where health and nutritional needs are determined
Where finances and futures are discussed and debated
Where transportation and scheduling are critical
Where projects are planned and events are arranged
Where team-building is a priority
where career begin and end
I oversee an organization
I am a Family Manager
Saya mengawasi organisasi terpenting di dunia
Ketika beratus keputusan dibuat setiap hari,
Ketika harta milik dan sumber daya diatur
Ketika kesehatan dan kebutuhan gizi ditentukan
Ketika keuangan dan masa depan didiskusikan dan diperdebatkan
Ketika transportasi dan daftar perjalanan begitu menentukan
Ketika proyek-proyek direncanakan dan acara-acara diatur
Ketika pembinaan tim merupakan prioritas
ketika karir dimulai dan berakhir
saya mengawasi sebuah organisasi kecil--
saya seorang Manajer Keluarga.
Kita boleh saja tidak setuju dengan Kathy Peel. Tapi paling tidak kita menyadari bahwa tugas keibuan adalah tugas yang mulia dan terhormat. Meskipun sayangnya masih ada perempuan yang menganggap menjadi ibu bukan sesuatu yang istimewa. Seolah menjadi ibu hanyalah suatu mata rantai bagi kehidupan seorang perempuan; setelah melewati masa kanak-kanak, remaja, lalu menikah dan kemudian.....jadilah seorang ibu. Apa susahnya menjadi ibu ?, ketika ditanya bagaimana menjadi seorang ibu? ...ngalir aja....go with the flow, jika anak lapar, beri makan, jika sakit...ya berobat, pada waktunya sekolah, sekolahkan semampunya. Habis perkara.
Sekarang mari kita bayangkan kita bersama ibu kita. Ibu kita dengan segala kekhususannya. Ibu yang sabar, ibu yang cerewet, ibu yang..., ibu yang...dst. Jika kita sepakat, bagaimanapun ibu adalah salah satu orang paling penting dalam hidup kita. Bukan hanya karena melalui dia kita ada, atau karena dia orang yang telah mendampingi tahap demi tahap tumbuh kembang kita, atau karena dia telah begitu lelah mengurus segala keperluan kita, atau karena dia selalu ada di saat kita sedih, marah, takut, dan gembira, tapi lebih dari pada itu kita mewarisi sebagian nilai-nilai yang sekarang kita yakini dari dia.
Pewarisan nilai, di sanalah poin terpenting seorang ibu. Disadari atau tidak, interaksi intens yang dilakukan seorang ibu dan sang anak setiap harinya tentu akan memberi warna dan corak tersendiri terhadap pemikiran dan keyakinan yang akan membentuk gambar kepribadian anak tersebut di kemudian hari. Maka akan ada seribu satu gambar yang mungkin terlukis dari interaksi ini, keikhlasan, kedermawanan, kesabaran, kejujuran, kesetia-kawanan, keramahan, kerapian, ketekunan...atau kemarahan, kepengecutan, ketidak-perdulian, kerakusan, kebohongan...
Dalam ungkapan lain, ibu adalah ’sang pembangun’. Di setiap bangunan kepribadian anak, baik kuat ataupun lemah, dapat dipastikan di dalamnya ada beberapa ’batu bata’ yang telah ’disusun’ oleh ibu. Mungkin seperlimanya, sepertiganya, atau separuhnya. Seperti harapan setiap orang yang membangun rumah atau gedung, yang diinginkan tentulah bangunan yang indah lagi kokoh. Karenanya si pembangun harusnya mempunyai pengetahuan yang memadai dalam hal merancang seperti apa dan bagaimana bangunan tersebut akan didirikan. Artinya, kapasitas pengetahuan, keyakinan dan perasaan yang dimiliki seorang ibu, akan menentukan bentuk dan kekuatan mental spritual putra-putrinya.
Sekali lagi, di sinilah letak nilai tertinggi peran keibuan. Sehingga tidak berlebihan jika seorang pujangga dari lembah Nil, Ahmad Syauqi Bey, berkata dalam sebuah syiirnya:
Al-ummu madrasatun
(Ibu adalah sekolah)
Idza a’dadtaha
(Apabila engkau persiapkan dia)
A’dadta sya’ban thayyibal a’raq
(Berarti engkau persiapkan masyarakat yang berkeringan harum)
Menurut Syauqi, kata kunci dari menjadi ibu adalah kesiapan. Kesiapan menjadi ibu meliputi kesiapan untuk dicontoh dan diikuti, kesiapan untuk memberi dan menerima, kesiapan untuk menjaga, kesiapan untuk menumbuhkan, kesiapan untuk berkorban, dan kesiapan untuk memperbaiki. Semua kesiapan itu dapat dirangkum dalam sebuah kata yang sederhana tapi dasyat, yaitu tarbiyah ( pembinaan diri). Setiap ibu seharusnya memiliki kesiapan untuk mentarbiyah dirinya. Pembinaan diri itulah tugas setiap perempuan yang ingin menjadi ibu yang dapat dibanggakan. Sebab, sebagaimana tidak ada manusia yang sempurna, sesungguhnya juga tidak ada ibu yang sempurna, yang ada adalah ibu yang berbuat untuk sempurna dengan usaha dan upaya. Tanpa itu semua, ibu yang dibanggakan hanya akan ada dalam mimpi dan angan-angan.
Akhirnya menjadi ibu adalah karunia Allah sekaligus amanah. Karunia karena tidak setiap perempuan diberi kesempatan untuk menjadi ibu, tapi juga merupakan amanah yang akan Allah pertanyakan di akhirat kelak, sabda Rasulullah;”...dan seorang perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya, dan dia bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya...”. Bersyukurlah karena Allah telah memilih dan mempercayakan kita, wahai para ibu, untuk mengemban peran ini. Semoga peran keibuan yang kita jalani dapat menjadi ladang amal dan pahala sebagai pemberat timbangan kebaikan di akhirat kelak.