Para ulama ushul fiqh menawarkan dua macam pendekatan, untuk memahami syariat Islam yang dibawa Rasulallah SAW. Yang pertama, melalui kaidah-kaidah kebahasaan, yaitu suatu cara menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan secara dzahir, karena adanya lafadz yang musytarak (suatu lafadz yang punya arti lebih dari satu), ‘am (lafadz yang bersifat umum), muthlaq (lafadz yang tidak terbatas), dan lain-lain. Persoalan hukum dalam pendekatan ini terkait langsung dengan nash. Yang kedua, melalui pendekatan maqashid al-syariah (tujuan syara’ dalam menetapkan hukum), yaitu upaya untuk menyingkap dan menjelaskan hukum dari suatu kasus yang dihadapi melalui pertimbangan maksud-maksud syara’ dalam menetapkan hukum.
Pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan dianggap penting sebab ternyata disamping ada nash yang qath’iy al-dalalah (yaitu nash yang maksudnya dapat dipahami langsung, tanpa membutuhkan kepada qarinah /tanda dari luar nash), terdapat juga nash yang dzanniy al-dalalah (lafadz-lafadz yang tidak tegas indikasinya) seperti lafadz-lafadz musytarok, ‘am, mujmal dan lain-lain, baik di dalam nash –nash al-Qur’an maupun al-Hadits. Keberadaan dzanniy al-dalalah ini dianggap salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan sahabat dan ulama-ulama sesudahnya, dalam hal menetapkan hukum suatu masalah.
Itulah mengapa para ahli ushul mensyaratkan bagi seorang mujtahid di antaranya harus memiliki pengetahuan bahasa Arab, baik dari segi sintaksis maupun filologinya. Termasuk di dalam makna ini adalah memiliki perasaan bahasa (dzauq lughawi) untuk memahami gaya bahasa Arab, mengenal sastra Arab, apakah dalam bentuk prosa atau puisi. Semua ini akan membantu untuk memahami nash al-Qur’an dan Sunnah
Adapun pendekatan melalui maqashid al-syariah, juga tidak kalah penting. Sebab sebagaimana yang kita ketahui bahwa hukum-hukum syariat dibuat untuk kemashlahatan umat manusia, sehingga melakukan analisa terhadap tujuan penetapan hukum dapat memperluas lapangan ijtihad dengan kekuatan analisa rasional.
Dengan menggunakan dua pendekatan ini kemudian para ahli ushul fiqh membuat berbagai kaidah-kaidah, prinsip-prinsip dasar dan metode yang dapat digunakan dalam menyingkap dan menjelaskan suatu hukum.
Tulisan berikut ini akan membahas serba sedikit tentang maqashid al-syariah dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Agar dapat didapat gambaran apa dan bagaimana sesungguhnya tujuan para ulama dalam penetapan maqashid al-syariah ini.
Pengertian Maqashid al-Syariah
Secara bahasa maqashid al-syariah (مقاصد الشريعة) terdiri dari dua kata; maqashid dan al-syariah. Maqashid (مقاصد) adalah bentuk jama dari maqsud (مقصود) artinya: tujuan. Dan al-syariah artinya aturan yang datangnya dari Allah dan Rasulnya (agama). Maksudnya bahwa Allah dan Rasulnya tidaklah membuat hukum tanpa tujuan atau hanya secara kebetulan. Namun segala aturan dan hukum yang dibebankan kepada manusia pada hakikatnya adalah untuk kemashlahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Para ulama telah mengumpulkan maksud-maksud atau tujuan disyariatkannya ajaran Islam dalam 3 klasifikasi:
1.Dharuriyyat (الضروريات)
Yaitu memelihara segala yang dharuri (primer) bagi manusia dalam kehidupan mereka. Urusan-urusan yang termasuk dharuri ini adalah segala yang diperlukan untuk hidup manusia, yang apabila tidak ada, akan menimbulkan kekacauan dan merusak tata aturan dalam kehidupan. Dalam Islam hal yang dianggap dharuri dan harus dijaga atau dipelihara secara hirarkis ada 5 macam:
a. Agama (الدين)
b. Jiwa (النفس)
c. Akal (العقل)
d. Keturunan atau kehormatan (النسل او العرض)
e. Harta (المال)
Islam datang untuk menjamin terpeliharanya lima hal yang primer (الضرورية الخمس)tersebut. Untuk itulah syara’ (agama) memberi aturan-aturan yang berkaitan dengan penjagaan lima hal primer ini, seperti Kewajiban jihad, larangan membunuh, larangan minum miras, perintah menikah, larangan berzina, larangan mencuri, dan lain sebagainya.
Segala aturan dan hukum yang masuk kategori dharuriyyat ini sama sekali tidak boleh diabaikan dan harus dipatuhi, kecuali dalam kondisi jika dilaksanakan maka akan dapat merusak ketentuan yang yang lebih tinggi dan lebih penting darinya. Sebagai contoh seorang muslim dilarang membunuh siapapun, muslim atau non muslim, namun larangan itu dapat gugur dan tidak berlaku jika dalam peperangan untuk mempertahankan agama. Contoh lain, mempertahankan harta dari perampok itu harus, tapi jika dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar, seperti akan terjadi pembunuhan, maka melepaskan harta lebih diutamakan dari pada mempertahankannya.
2.Hajiyyat (الحاجيات)
yaitu menyempurnakan segala yang dibutuhkan manusia. Adapun yang dimaksud dengan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia adalah semua yang dapat memberi kemudahan bagi manusia dalam melaksanakan tugas-tugas dan tanggung jawab sebagai hamba Allah. Namun demikian jika kemudahan itu tidak ada, tidak akan menimbulkan kekacauan ataupun kerusakan dalam kehidupan mereka, hanya saja akan menimbulkan kesulitan dan kesempitan saja. Seperti bolehnya men-jama’ dan meng-qashar shalat bagi musafir, adanya alternatif tayammum bagi mereka yang kesulitan mendapatkan air untuk berwudlu, dan lain sebagainya. Tujuan hajiyyat ini dapat gugur jika demi untuk menjaga tujuan yang dharuriyyat. Contoh tidak boleh menerima santunan yang diperlukan jika harus menukar agama.
3.Tahsiniyyat (التحسينيات)
Tahsiniyyat atau dalam istilh lain; takmiliyyat (التكميليات) , yaitu mewujudkan keindahan bagi perorangan dan masyarakat. Yang dimaksud dengan mewujudkan keindahan adalah segala hal yang dapat menjadikan kehidupan lebih teratur, harmonis, dan menyenangkan. Namun apabila ini tidak terwujud, tidak akan menimbulkan kerusakan dan kesempitan dalam hidup. Tahsiniyyat ini umumnya banyak berhubungan dengan akhlaq, seperti larangan ghibah, perintah berbuat baik kepada karib kerabat dan fakir miskin, menutup aurat, dan lain sebagainya. Tujuan tahsiniyyat ini dapat gugur demi untuk menjaga tujuan dharuriyyat atau tahsiniyyat, seperti boleh membuka aurat untuk keperluan berobat.
Demikianlah, tiga macam tujuan agama dalam menetapkan segala bentuk aturan dan hukum bagi manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada satu aturanpun dalam Islam kecuali sesuai dengan salah satu dari tujuan-tujuan tersebut diatas. Wallahu a’lam.
MAQASHID AL-SYARIAH (2)
Semua persoalan dalam kehidupan di dunia ini pasti ada aturannya dari Allah. Aturan Allah itu dapat ditemukan secara harfiyah dalam al-Qur’an atau dibalik yang harfiyah itu. Dari segi ini, hukum Allah dapat ditemukan dalam tiga kemungkinan sebagai berikut:
1. Hukum Allah dapat ditemukan dalam ibarat lafaz al-Qur’an menurut yang disebutkan secara harfiyah. Bentuk ini disebut “hukum yang tersurat dalam al-Qur’an”.
2. Hukum Allah tidak ditemukan secara harfiyyah dalam lafaz al-Qur’an maupun Sunnah, tetapi dapat ditemukan melalui isyarat atau petunjuk dari lafaz yang disebutkan dalam al-Qur’an. Hukum dalam bentuk ini disebut “hukum yang tersirat dibalik lafaz al-Qur’an”.
3. Hukum Allah tidak dapat ditemukan dalam harfiyah lafaz dan tidak pula dari isyarat suatu lafaz yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah, tetapi dapat ditemukan dalam jiwa dari keseluruhan maksud Allah dalam menetapkan hukum. Hukum Allah dalam bentuk ini disebut “hukum yang tersuruk (tersembunyi) di balik al-Qur’an”.
Khusus untuk mengetahui “hukum yang tersuruk”, memang sangat diperlukan daya dan kemampuan ra’yu (nalar) yang tinggi. Bila untuk mengetahui “hukum yang tersirat” ada pedoman yang digunakan dalam menetapkan hukumnya yaitu kaitannya dengan nash, maka untuk mengetahui “hukum yang tersuruk” tidak ada yang dapat dijadikan pedoman yang kuat. Untuk maksud itu sangat diperlukan kemampuan menggali hakikat dari tujuan Allah dalam menetapkan hukum atas suatu kejadian. Bila hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an dianalisa, maka dapat dipahami bahwa dasarnya Allah menetapkan hukum itu adalah untuk mendatangkan kemaslahatan bagi manusia , baik dalam bentuk mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudharat (kerusakan). Karena itu hakikat dari tujuan hukum itu dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum fikih.
Dengan demikian, bila dalam suatu kejadian terdapat kemaslahatan yang bersifat umum dan tidak ada dalil nash yang berbenturan dengannya, maka pada kejadian itu seorang mujtahid dapat melahirkan ketentuan hukum. Usaha penemuan hukum melalui cara ini dikenal dengan nama maslahah mursalah.
Maslahah merupakan suatu topik pembahasan dalam kajian keislaman. Konsep maslahah dalam syariat Islam menduduki posisi penting, sekaligus potensial dalam upaya pembinaan dan pengembangan fikih yang bisa menjawab tantangan zaman yang terus berkembang dengan membawa masalah-masalah dan persoalan-persoalan baru.
Kata maslahah berarti kebaikan yang besar lagi langgeng atau kebaikan untuk umum (public good), dengan cara menarik manfaat dan menolak bahaya. Kerangka maslahat terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Al-maslahah al-mu’tabarah (المصلحة المعتبرة)
Yaitu suatu yang secara logika bermanfaat yang diakui oleh syariat dan syariat telah menetapkan beberapa hukum yang dapat menjaga kemaslahatan tersebut. Contohnya berbuat baik kepada orang tua. Secara logika wajib seorang anak berbuat baik kepada orang tuanya, dan syariatpun telah ditetapkan hukum dalam hal itu.
2. Al-maslahah al-mulghah (المصلحة الملغة)
Yaitu sesuatu yang secara logika bermanfaat tapi tidak diakui oleh syariat, dan syariat telah menetapkan hukum yang menunjukkan tidak berlaku lagi kemaslahatan tersebut. Contohnya riba (bungan uang), secara logika riba memberi keuntungan tapi syariat tidak mengakuinya dengan melarang praktek riba.
3. Al-maslahah al-mursalah (المصلحة المرسلة)
Yaitu sesuatu yang secara logika bermanfaat tetapi syariat tidak memberi sesuatu ketetapan apapun baik kebolehannya atau pelarangannya. Contohnya kodifikasi al-Qur’an menjadi satu mushaf seperti yang dilakukan khalifah Utsman bin Affan, menetapkan penaggalan hijrah oleh khalifah Umar ibn al-Khattab, dll.
Khusus untuk al-maslahah al-mursalah ada syarat-syarat yang perlu diperhatikan dalam menetapkan jenis maslahah ini:
1. Maslahah itu benar-benar ada (haqiqiyah), bukan praduga (wahamiyah).
2. Maslahah tersebut bersifat umum (kulliyah), bukan bersifat pribadi.
3. Tidak bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan dengan nash (al-Qur’an dan Hadits) atau dengan ijma’ ( kesepakatan) ulama Islam.
Imam Al-Syatibi menambahkan 2 syarat lagi bagi penetapan maslahah :
4. Maslahah itu harus rasional (ma’qulah).
5. Maslahah itu tidak berlaku pada persoalan ibadah (ta’abbudi).
Sebagai conoh berikut ini akan diketengahkan sebuah kasus yang dapat diselesaikan hukumnya dengan jalan maslahah mursalah sesuai dengan syarat-syarat diatas;
Masalah pencakokan kornea mata dari orang yang telah meninggal kepada seseorang yang memerlukannya.
Masalah ini tentu tidak terdapat hukumnya secara harfiyah dalam al-Qur’an, begitu pula dalam Hadits karna belum pernah terjadi di zaman Rasulallah. Juga tidak mungkin ditemukan kaitannya dengan salah satu lafaz yang terdapat dalam nash. Manfaat dari perbuatan pencangkokan mata tersebut jelas besar, yaitu membuat orang yang asalnya buta menjadi dapat melihat (haqiqiyah), dan tidak ada kepentingan orang lain yang terlanggar, artinya tidak ada hukum nash atau ijma yang dilanggar. Pencangkokan itu sendiri telah dibuktikan secara ilmiah mungkin dilakukan (ma’qulah). Dan yang pasti ini bukan termasuk persoalan ibadah (taabbudi). Dengan demikian mujtahid dapat menyatakan kebolehan pencangkokan kornea mata.