Pages

Senin, 20 Desember 2010

DAMPAK PERGESERAN SISTEM SENTRALISASI KE DESENTRALISASI DI INDONESIA: MENYIMAK PROSPEK PEMBERLAKUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

0 komentar
 
A.PENDAHULUAN
Lengsernya penguasa orde baru, bapak Soeharto pada Mei 1998, menandai masuknya Indonesia ke dalam babak baru sejarah. Sistem pemerintahan yang berjalan secara sentralisasi selama 35 tahun adalah salah satu sumber masalah di negeri ini yang dengan sangat kuat muncul menjadi fokus perbincangan. Berbagai sorotan tajam terhadap kelemahan sistem ini pada akhirnya bermuara pada wacana desentralisasi yang terus mengemuka.
Akhirnya pada tanggal 7 Mei 1999, disahkanlah UU. NO. 22 / 1999 tentang Pemeritahan Daerah atau yang lebih populer dengan sebutan Undang-Undang Otonomi Daerah. Undang-undang ini kemudian direvisi dengan terbitnya UU. NO. 32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menetapkan bahwa desentralisasi dengan penerapan Otonomi Daerah sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi. Dengan asumsi bahwa Otonomi daerah adalah jalan keluar bagi ancaman disintegralisasi bangsa yang saat itu dirasakan semakin menguat sebagai akibat kurang diperhatikannya daerah-daerah selama ini. Padahal potensi kekayaan daerah yang sangat sangat besar diangkut ke pusat, sementara daerah hanya mendapat “tetesannya” saja.
Substansi Otonomi Daerah adalah peningkatan pelayanan dan kesejahteraan kepada masyarakat dengan memperkecil mata rantai kendali pemerintahan. Dalam pelaksanaanya ternyata banyak daerah yang mempunyai wilayah yang amat luas, sehingga terjadi ketidak-merataan pembangunan.Ini menjadi salah satu peluang munculnya issu pemekaran daerah baik di tingkat kabupaten dan kota maupun di tingkat propinsi, yang mendapat tempat dalam UU. NO. 22 / 1999 dan UU. 32 / 2004.
Demikianlah sekilas latar belakang peralihan sistem pemerintahan Indonesia yang sebelumnya kekuasaan sentral berada dalam kendali pusat, lalu kemudian mengalami perubahan menjadi desentralisasi, dimana daerah-daerah memiliki otoritas untuk mengatur pemerintahannya sendiri. Berikut ini akan dibahas lebih lanjut tentang dampak desentralisasi dan prospek penerapan hukum Islam di Indonesia.


B. PERMASALAHAN DESENTRALISASI
Pengertian sentralisasi secara bahasa adalah penyatuan segala sesuatu ke suatu tempat yang dianggap sebagai pusat. Maka desentralisasi, sebagaimana diungkapkan oleh Rondinelli, yaitu penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat baik kepada pemerintah daerah maupun kepada pejabat pemerintah pusat yang ditugaskan di daerah. Dalam hal kewenangan yang diserahkan kepada pemerintah daerah disebut devolusi. Sedangkan kewenangan yang dilimpahkan kepada pejabat pusat yang ditugaskan di daerah disebut dekonsentrasi.
Sebagai bentuk pertama pelaksanaan devolusi diwujudkan dengan pembentukan daerah otonom dan pemberian otonomi serta dibentuknya lembaga daerah seperti pemerintahan daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan lembaga yang dibentuk dengan kebijakan dekonsentrasi sebagai model kedua, disebut instansi vertikal dan wilayah kerjanya disebut wilayah administrasi yang dapat mencakup satu atau lebih wilayah daerah otonom. Model ketiga dari kebijakan desentralisasi dalam arti luas adalah kebijakan delegasi (delegation). Pemerintah pusat atau unit pemerintah yang khusus dibentuk untuk keperluan di maksud. Sebagai contoh adanya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi tertentu, misalnya maskapai penerbangan Garuda. Adapun model keempat dari kebijakan desentralisasi adalah melalui kebijakan privatisasi. Untuk kepentingan efisiensi dan mengurangi beban penyediaan pelayanan publik oleh pemerintah, dapat dilakukan penyerahan kepada pihak swasta untuk mengelola kegiatan tersebut, seperti pasar, rumah sakit, dan lin-lain.
Ada beberapa alasan yang menjadikan model pemerintahan desentralisasi ini lebih memberi kebaikan dan keuntungan, jika diterapkan dengan benar, yaitu:
1. Dilihat dari sudut politik, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
2. Dalam bidang politik penyelenggaran desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi.
3. Dari sudut teknik organisasi pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama diurus oleh pemerintahan setempat, pengurusannya diserahkan kepada daerah. Hal-hal yang lebih tepat di tangan pusat tetap diurus oleh pemerintahan pusat.
4. Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan pada kekhususan suatu daerah, seperti geografis, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.
5. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.
Ketika otonomi daerah dicanangkan di Indonesia oleh pemerintah pada tanggal 1 Januari 2001, banyak kalangan mempertanyakan apakah secara otomatis akan terjadi perubahan paradigma yang mendasar dan bersifat struktural. Sebab persoalannya adalah gema yang masih berkumandang di seantero jagad Indonesia adalah sentralisasi (kontrol dari pusat) yang dirasakan dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Para birokrat di daerah sudah terlanjur biasa meminta ‘petunjuk’ dari atas. Atau apakah otonomi daerah ini tidak akan menimbulkan ‘keterkejutan’ penguasa-penguasa di daerah yang sekarang memiliki otoritas lebih besar dari sebelumnya. Tentu saja waktu yang akan membuktikan bagaimana kondisi Indonesia ke depan setelah penerapan otonomi daerah ini, adakah terjadi perbaikan-perbaikan seperti yang diharapkan oleh sementara kalangan , ataukah justru otonomi daerah dapat memunculkan ‘raja-raja’ baru yang berpeluang menjadikan penyimpangan-penyimpangan baru pula.

C. DAMPAK DESENTRALISASI
Sebagaimana telah diungkap diatas, bahwa desentralisasi memiliki banyak nilai lebih yang diharapkan dapat memberi banyak kebaikan jika diterapkan di Indonesia. Terutama jika kita melihat Indonesia dari perspektif kultural, dimana Indonesia didiami oleh beragam suku budaya, tradisi dan keyakinan. Dengan pemberlakuan desentralisasi atau otonomi daerah, kepentingan lokal yang sesuai dengan keragaman tersebut tentu akan lebih terakomodasi.
Salah satu contoh yang paling nyata adalah daerah Nanggro Aceh Darussalam dan Papua. Kedua daerah ini memiliki karakter penduduk dan budaya tradisi yang khas. Konflik berkepanjangan yang pernah menyelimuti kedua daerah ini diantaranya adalah disebabkan kurang terakomodirnya kepentingan dan keinginan masyarakat di kedua daerah ini. Pemerintah pusat kurang memberi perhatian terhadap laju perkembangan dan dinamika keduanya, sementara hasil buminya yang begitu melimpah tidak memberi kontribusi yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakatnya.
Demikian juga dengan daerah-daerah lain yang pasti akan berbeda antara satu dengan lainnya. Wewenang untuk mengatur diri sendiri, tentu akan sangat membuka kesempatan bagi terakomodirnya kepentingan dan keinginan masyarakat setempat. Daerah akan dapat mengatur masyarakatnya sesuai dengan kekhasannya serta masyarakat dapat lebih berpartisispasi dalam pembangunan di daerahnya.
Salah satu aspek yang mungkin lahir dari pemberlakuan desentralisasi ini adalah lahirnya peraturan-peraturan daerah yang sesuai dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Meskipun ini berarti akan terjadi peraturan-peraturan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Ini adalah konsekuensi logis dari pemberlakuan sistem ini. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat (h) UU NO. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa: “Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyrakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan dibentuk Peraturan Daerah. Dengan kata lain, Peraturan Daerah adalah sarana yuridis untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah dan tugas-tugas pembantuan. Penjelasan umum UU NO.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah angka 7, antara lain mengemukakan: ”Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban dan tanggung jawabnya serta atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam peraturan daerah…”. Menurut Pasal 12 UU NO.10 / 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berdasarkan undang-undang ini terbuka peluang bagi daerah untuk membuat peraturan-peraturan yang dapat mengakomodir keinginan masyarakat. Sehingga tidak mengherankan jika di beberapa daerah, kemudian muncul peraturan-peraturan yang sarat dengan nilai-nilai keyakinan setempat sebagai perwujudan dari aspirasi masyarakat. Di Nanggro Aceh Darussalam bahkan telah menjadi Daerah Otonomi Khusus dalam hal penerapan syariat Islam yang diatur oleh undang-undang.
Hal ini memberi pengertian kepada kita bahwa rasa keadilan tidak diukur sama disemua daerah. Jika di suatu daerah yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, tentu kepentingan yang paling banyak dituntut adalah kepentingan umat Islam, demikian juga di daerah yang mayoritas berpenduduk Kristen atau Hindu atau lainnya. Sehingga tidak heran jika di daerah Toraja ada peraturan daerah yang mengatur tentang cara pembakaran mayat sesuai keyakinan masyarakat setempat, begitu juga di Bali muncul peraturan daerah yang mengatur tentang perayaan Nyepi.

D.PROSPEK HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Hukum Islam sering disamakan dengan syariat Islam. Keduanya memang sama-sama merupakan ‘jalan’ yang berasal dari Allah, tetapi dari perkembangan sejarah Islam, keduanya telah mengalami diferensiasi makna. Syariat Islam secara umum adalah keseluruhan teks al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai ketentuan Allah yang yang seharusnya menjadi pegangan hidup manusia. Sedang hukum Islam, sebagiannya memerlukan kekuasaan untuk menjamin pelaksanaannya dan sebagian lagi menyangkut norma, etika dan lain-lain.
Syariat Islam pada asalnya bermakna segala yang diserahkan kepada ketaatan individu. ketentuan yang digariskan ajaran Islam mengenai berbagai sendi kehidupan yang bersumber dari al-Quran dan Hadits Rasulallah serta ijtihad para mujtahid dalam memahami teks-teks dan dalam keadaan tidak ada teks. Namun dalam perkembangannya terjadi penciutan makna syariat Islam dan hanya menjadi salah satu cabang kajian Islam yang berhubungan dengan hukum saja. Bidang-bidang di luar hukum berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri. Syariat sebagai hukum akhirnya terbatas dalam bidang af’al al-mukallafin (perbuatan orang mukallaf/dewasa) yang harus mengikuti aturan-aturan yang digariskan dalam agama.
Jika kita berbicara tentang hukum Islam di Indonesia, maka negara telah memberikan landasan awal bagi penerapan hukum Islam, yang terdapat dalam dasar negara berupa Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana menurut Pasal 29 ayat (2) UUD 1945:”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”.
Sementara itu hukum positif yang berlaku di Indonesia sekarang ini lebih merupakan gabungan dari peninggalan Kolonial penjajah Belanda (hukum Barat), hukum adat dan hukum Islam sebagai perdata khusus yang berlaku bagi umat Islam. Dari ketiganya, hukum Islam nampaknya mempunyai peluang besar untuk mengisi hukum nasional karena beberapa pertimbangan:
1. Hukum adat yang tidak mencerminkan keadilan, kemanusiaan, dan kebersamaan berpotensi untuk sektarianisme dan disentegrasi bangsa. Hukum seperti ini akan cenderung ditinggalkan oleh masyarakat seiring dengan perkembangan arus migrasi, akulturasi dan modernisasi di seluruh wilayah Indonesia.
2. Hukum Barat sebagai hukum asing menggambarkan sejarah dan norma-norma bangsa Eropa yamg belum tentu sejalan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia. Selain itu, hukum Barat zaman kolonial dirancang sebagai bagian dari politik kolonial untuk mempertahankan kekuasaan asing di bumi Nusantara. Dengan semakin meningkatnya rasa kebangsaan di masa depan, maka hokum yang berasal dari Barat akan diterima dengan sangat selektif, hanya bila itu sesuai dengan rasa keadilan dan norma-norma bangsa Indonesia
3. Hukum Islam mencerminkan norma-norma bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Hukum Islam telah terlebih dulu mempersatukan mayoritas bangsa Indonesia jauh sebelum kolonial Belanda mempersatukan Nusantara.Disamping itu hukum Islam tidak hanya mengikat manusia sebagai makhluk sosial, tapi juga berkaitan erat dengan keyakinan terhadap Tuhan, dimana kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan dibalas dengan keburukan juga, baik di dunia maupun di akhirat.
Hukum Islam sesungguhnya telah memberi kontribusi yang sangat besar terhadap upaya pembinaan dan pembangunan hukum nasional di Indonesia, paling tidak dari segi jiwanya. Ini diperkuat oleh beberapa argumen:
1. UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. UU No.7 Tahun 1989 tantang Peradilan Agama.
3. UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
4. Kompilasi Hukum Islam (KHI), meski tidak terbentuk undang-undang, melainkan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991.
5. PP No,28 Tahun 1991 tentang Perwakafan Nasional.
6. UU No. 38 Tahun 1991 tentang Pengelolaan Zakat.
7. UU No.7 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Syariah
8. UU No. 44 Tahun 1999 Pelaksanaan Keistimewaan Provinsi Istimewa Aceh, menyangkut pelaksanaan syariat Islam.
Jadi secara eksistensial, kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional merupakan sub sistem dari hukum nasional. Oleh karena itu, hukum Islam juga mempunyai peluang untuk memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan dan pembaharuan hukum nasional .
Dengan mengoptimalkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, yang telah terbentuk dan telah diberlakukan sekarang ini, terbuka jalan bagi ‘para pejuang pelaksanaan syariat Islam’ untuk:
 mengisi Peraturan Daerah dengan nilai-nilai Islam
 membuat peraturan yang melarang kemaksiatan melalui perda dengan ancaman pidana
 mendorong dilaksanakannya ajaran Islam melalui peraturan daerah
 mendorong aparat pemerintahan daerah yang Islami
 mendorong aspirasi masyarakat untuk menegakkan syariat Islam
 dan lain-lain
Namun tentu saja dalam hal ini harus mengacu kepada mekanisme dan tata cara yang telah ditetapkan. Mengenai mekanisme penyusunan peraturan daerah telah diatur dalam UU No. 10 dan 32 Tahun 2004, serta Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 169 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Program Legislasi daerah. Demikian juga tentang siapa pejabat atau orang yang berwenang melakukan penyusunan tersebut. Sehingga dengan demikian,tidak setiap orang berhak melakukan kegiatan penyusunan peraturan daerah ini.

E.KONTROVERSI PERDA SYARIAH
Sejak diberlakukannnya sistem desentralisasi dalam bentuk otonomi daerah, telah terbit sebanyak 148 peraturan daerah (perda) diberbagai provinsi dan kabupaten-kota. Dari sekian banyak perda tersebut, ada 45 perda yang diterbitkan oleh 25 daerah yang mengatur soal moral dan keagamaan. Dan dari 45 perda tersebut, 15 diantaranya adalah bersifat mengadopsi hukum Islam (syariah) yang tersebar di Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Riau, dan Banten.
Jejak regulasi bernuansa Islami memang seperti membuka sumbatan-sumbatan yang selama ini menghalangi keinginan sebagian masyarakat yang berharap dapat menerapkan Islam secara kaffah. Sehingga peluang yang dibuka pemerintah pusat lewat otonomi daerah, bagaikan hujan dimusim kemarau. Salah satu contoh adalah Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan. Bupati bulukumba, Patabai Pabokori, selama tahun 2003 telah menerbitkan 4 perda syariah yaitu Perda Minuman Keras, Perda Zakat, Infaq dan Sedekah, Perda Baca Tulis Al-Qur’an bagi Siswa dan Calon Pengantin, serta Perda Pakaian Muslim/Muslimah.
Sebuah survey nasional yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Jakarta (PPIM UIN) tentang tingginya dukungan orang pada tawaran penerapan syariat, ternyata dari tahun 2001 hingga 2004 trennya naik. Pada 2001 responden pro syariat hanya 60%. Tahun 2002 meningkat menjadi 71%, dan tahun 2003 menjadi 75%. Hal ini nampaknya mulai membuat gerah kelompok-kelompok masyarakat yang mengkhawatirkan berdirinya Negara Islam. Sehingga perda-perda bernuansa syariah mulai dipertanyakan bahkan telah menjadi kontroversi yang melibatkan semua elemen masyarakat.
Menyikapi munculnya perda-perda yang bernuansa syariah ini, 56 anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI dari fraksi Golkar, FPDI, dan FPKB meminta agar ketua DPR Agung Laksono mengirim surat kepada presiden RI untuk mencabut perda-perda tersebut, sebab menurut mereka perda yang hanya mengakomodir kepentingan satu golongan dapat mengancam keutuhan bangsa dan menimbulkan konflik horizontal ditengah masyarakat. Sementara itu dari FPKS dan FPPP justru menolak asumsi tersebut. Menteri agama Maftuh Basuni, ketika didesak untuk bersikap terhadap keberadaan perda-perda tersebut mengatakan bahwa tidak ada yang salah dengan perda syariah, selama dilakukan sesuai dengan prosedur. Hal senada juga diungkapkan oleh ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Sementara itu pernyatakan yang agak mengejutkan datang dari wakil presiden Yusuf Kalla yang mengatakan bahwa perda-perda syariah itu hanya akan mereduksi agama, sebab menurutnya pemerintah tidak perlu ikut campur tangan dalam masalah pelaksanaan agama, karena merupakan tanggung jawab antara manusia dengan Tuhannya. Walaupun kemudian di lain kesempatan wakil presiden mengatakan bahwa perda syariah tidak perlu dipersoalkan lagi.
Reaksi yang cukup marak juga muncul di tengah-tengah masyarakat. Pada tanggal 28 Juli 2006 di Padang Sumatera Barat dideklarasikan Komite Penegakan Perda Syariah, yang dihadiri antara lain oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Di masjid Istiqlal beberapa waktu lalu juga berkumpul 36 ormas Islam, termasuk MUI, yang menolak pencabutan Perda yang bernafaskan Islam. Gerakan ini mendapat tanggapan dari kelompok yang menamakan Forum Perempuan Makassar yang menyatakan perda-perda syariah hanya akan memasung kebebasan perempuan.
Seakan tak mau kalah, berbagai media, baik cetak maupun elektronik, turut menyoroti berbagai perda tersebut. Majalah Gatra bahkan membuat judul headline salah satu edisinya: Negeri Syariah Tinggal Selangkah, judul yang sangat provokatif terutama bagi orang-orang Islamophobia. Di stasiun-stasiun televisi ditayangkan perdebatan-perdebatan antara kelompok pro dan kontra. Sehingga perda-perda syariah ini seolah-olah merupakan ancaman bagi kesatuan dan persatuan NKRI
Demikianlah kontroversi yang muncul sebagai reaksi dari terbitnya perda-perda yang bernuansa syariah tersebut. Sebagai sebuah dinamika demokrasi, polemik yang mengitari sentimen pro dan kontra adalah sesuatu yang niscaya. Tinggal bagaimana kita bisa dewasa dan berlapang dada dalam menyikapi berbagai keberagaman dan perbedaan yang ada.
Namun hal ini seharusnya menjadi catatan penting bagi kaum muslimin untuk tidak terlalu cepat dan mudah menempelkan label ‘syariah’ terhadap sebuah produk yang bersifat umum bagi masyarakat. Karena bagaimanapun harus diakui Indonesia adalah negara yang meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam namun disana tetap ada komunitas lain yang berbeda keyakinan. Pelabelan ‘syariah’ sering kali memancing pertanyaan dan mungkin juga kekhawatiran akan terabaikannya hak-hak kalangan lain yang minoritas.
Ahmad Syafi’i Ma’arif, ketua PP Muhammadiyyah pernah berkomentar tentang masalah ini, ”Tidak perlulah menyebut-nyebut syariah Islam, yang penting substansinya. Seperti garam terasa tapi tidak nampak; karena yang penting bukan ‘botol dan mereknya’ (formalitasnya) melainkan ‘isi kecapnya’ (amal Islamnya)”. Ucapan ini meskipun ada sebagian kalangan yang tidak setuju dan menganggap sebagai cerminan perasaan pengecut (munafik), namun sesungguhnya ada pembenarannya dalam sejarah Islam.
Mari kita tengok ulang peristiwa perjanjian Hudaibiyyah antara kaum muslimin dan kaum Qurays Mekkah. Pada saat perjanjian tersebut dibuat, kaum kafir Qurays tidak menerima penyebutan ‘Muhammad Rasulallah’ dan pencantuman kalimat basmalah ( bismillah al-rahman al-rahim) di dalam teks perjanjian, sebab itu jelas-jelas menonjolkan simbol keislaman. Rasulallah kemudian menuruti keinginan kaum Qurays, dan mengganti ‘Muhammad Rasulallah’ menjadi ‘Muhammad bin Abdillah” dan kalimat basmalah menjadi bismika allahumma.
Sesungguhnya formalisasi hukum Islam adalah cita-cita yang tidak pernah luntur pada diri ummat Islam. Namun untuk menuju kesana perlu kiranya dipikirkan cara terbaik, bahkan strategi jitu agar cita-cita tersebut tidak kandas di tengah jalan, atau bahkan akan menjadi boomerang yang akan menghantam balik ummat Islam.

F.PENUTUP
Sebagai penutup dari tulisan singkat ini dapat disimpulkan bahwa penerapan al-Quran dan al-Sunnah dalam bidang kehidupan kemasyarakatan sebagian mengandung norma moral dan sebagiannya lagi mengandung norma hukum. Menegakkan hukum Islam dalam kehidupan memang menjadi dorongan yang kuat di sebagian kaum muslimin Indonesia. Bahkan perjuangan untuk itu telah dimulai sejak sebelum masa penjajahan Belanda. Itulah mengapa wacana tentang penegakan syariah Islam seakan tak pernah padam. Bahkan kian menghangat belakangan ini.
Namun yang kiranya perlu dipikirkan juga adalah sejauh mana masyarakat, bangsa Indonesia umumnya dan kaum muslimin khususnya siap untuk menerima penegakan syariat Islam ini baik secara konsep teoritis dan juga secara praktis implementatif. Artinya, perlu ada upaya edukasi dan sosialisasi dimasyarakat tentang hakikat syariat Islam. Terutama tentang hukum pidana Islam yang selama ini mungkin digambarkan kejam, tidak manusiawi dan melanggar HAM. Agar nantinya penegakan syariat yang dicita-citakan tidak jadi blunder bagi kaum muslimin sendiri.
Selama ini memang banyak sekali terjadi kesalah pahaman terhadap hukum Islam yang diantaranya disebabkan oleh pernyataan yang keluar dari lisan maupun tulisan kalangan Islamophobia, apakah itu para orientalis atau yang lainnya. Sehingga menjadikan kaum muslimin terpecah dalam melihat masalah penegakan syariat Islam. Dengan demikian, mengubah paradigma masyarakat tentang keadilan hukum Islam, mestinya menjadi agenda tersendiri yang tidak boleh diabaikan, disamping upaya-upaya yang bersifat politis untuk meng-goal-kan nilai-nilai Islam dalam hukum nasional Indonesia. (Wallahu a’lam).


DAFTAR PUSTAKA



Al-Mubarakfury, Shafiyyur Rahman. Sirah Nabawiyyah. Terj. Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997.

Al-Munawar, Said Agil Husin. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta: Penemadani, 2005.

Awwas, Irfan S. Apa Dosa Rakyat Indonesia. Jogjakarta: Wihdah Press, 2005.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.

Jurnal Legislasi Indonesia, vol. 3 No. 1, Maret 2006.

Ka’bah, Rifyal. Penegakan Syariat Islam di Indonesia. Jakarta: Khairul Bayan, 2004


Santoso,Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam . Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Sumaryadi, I Nyoman. Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. Jakarta: Citra Utama, 2005.


SM, Oentarto. (et al). Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan. Jakarta: Samitra Media Utama, 2004.

Tim Penyusun. Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Eko Jaya, 2004.

Leave a Reply