Pages

Senin, 20 Desember 2010

TAFSIR AL-QUR’ANUL MAJID AN-NUUR (SEBUAH TINJAUAN METODOLOGIS TERHADAP KITAB TAFSIR KARYA TEUNGKU HASBI ASH-SHIDDIEQY)

0 komentar
 
A. Pendahuluan
Penulis atau penyusun kitab tafsir dari kalangan ulama Indonesia memang masih dapat dikatakan belum banyak. Hal ini bisa jadi disebabkan karena persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang mufassir tidaklah mudah. Seorang mufassir tidaklah cukup hanya memiliki kemampuan menuangkan apa yang ada dalam fikirannya dalam bentuk kata-kata atau kalimat, sebagaimana layaknya seorang pengarang atau penulis biasa. Demikian juga menafsirkan al-Qur’an tidaklah sama dengan menerjemahkan al-Qur’an. Bagi seorang mufassir al-Qur’an khususnya jika menggunakan model tafsir bi al-ra’yi, paling tidak, ia perlu menguasai lima belas disiplin ilmu sebagaimana dikemukakan oleh imam Suyuthi, yaitu:
1. Bahasa Arab, agar ia mengetahui makna-makna mufradat.
2. Nahwu, karena makna akan merubah menurut I’rab (struktur kalimat).
3. Sarf, ilmu tentang bangun kalimat.
4. Isytiqaq, ilmu tentang akar-akar kata jadian.
5. Ma’ani,
6. Bayan, dan
7. Badi’, ketiganya mempelajari aneka model susunan lafadz dan hubungannya dengan makna. Ketiga ilmu ini disebut ilmu Balaghah yang sangat diperlukan untuk mendapatkan dzauq bahasa.
8. Ilmu al-qiraat, yang membahas macam-macam kemungkinan pengucapan ungkapan di dalam al-Qur’an.
9. Ushul al-din, yang mempelajari pokok-pokok kepercayaan Islam.
10. Ushul al-fiqh, tentang metode penarikan kesimpulan hukum dari ayat-ayat.
11. Asbab al-nuzul wa al-qashas, tentang kaitan ayat-ayat tertentu dengan peristiwa yang mengitarinya.
12. Nasikh wa mansukh, untuk dapat m,embedakan ayat-ayat muhkam dan yang lainnya.
13. Fiqh, ilmu tentang hukum Islam.
14. hadits, yakni mengetahui hadits-hadits yang merupakan penjelassn bagi ayat-ayat al-Qur’an.
15. al-ilm al-mauhubah, yakni pengetahuan yang diperoleh sebagai pemberian khas dari Allah, bagi mereka yang telah mengamalkan ilmunya.
Namun dari sedikit ulama Indonesia itu, tercatat nama seorang alim bernama Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy. Ash-Shiddieqy menulis sebuah kitab tafsir yang diberi nama Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nuur. Kitab tafsir ini terdiri dari lima jilid, pertama kali dikerjakan dan kemudian diterbitkan pada tahun 1952 dan selesai ditulis pada tahun 1961. Kitab tafsir ini, menurut penerbitnya, merupakan kitab tafsir pertama yang diterbitkan di Indonesia, sehingga tafsir ini merupakan tafsir pelopor dalam khazanah perpustakaan di tanah air. Antara tahun 1956 sampai tahun 1976, kitab tafsir ini telah tiga kali diterbitkan.
Kitab tafsir ini kemudian disunting ulang oleh putra beliau Prof. Dr. Nourouzzaman Shiddiqy M.A dan kemudian diterbitkan kembali oleh Penerbit Pustaka Rizki Putra di Semarang, cetakan pertama pada tahun 1993, dan cetakan kedua pada tahun 2000.
Tulisan berikut ini bermaksud hendak memberi tinjauan terhadap metode tafsir yang digunakan Ash-Shiddieqy dalam karya tafsirnya tersebut. Sehingga dapat diketahui termasuk corak aliran apakah tafsir an-Nuur ini dan adakah kitab-kitab tafsir sebelumnya yang turut memberi warna dan pengaruh terhadap model penafsiran an-Nur ini.

B. Sekilas Tentang Penulis
Teugku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy lahir di Lhokseumawe pada 10 Maret 1904. Ayahnya, teugku qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Su’ud adalah seorang ulama terkenal di kampungnya yang memiliki dan mengelola sebuah pesantren (dayah). Sedang ibunya bernama Teugku Amrah binti teugku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, putri seorang qadhi kesultanan Aceh.
Ash-Shiddieqy muda mendalami awal pendidikan agamanya di pesantren milik sang ayah. Selanjutnya ia melanjutkan belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya di beberapa kota selama lebih kurang 20 tahun. Kedalaman pengetahuan bahasa Arab yang dimilikinya didapat dari seorang ulama berkebangsaan Arab bernama Syeikh Muhammad ibn Salim al-Kalali. Pada tahun 1926, Ash-Shiddieqy melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Al-Irsyad (sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Soorkati) di Surabaya selama dua tahun. Sepulang dari Surabaya Ash-Shiddieqy bergabung dengan organisasi Muhammadiyah di Aceh.
Ash-Shiddieqy pernah bergabung dan aktif di konstituante (lembaga legislatif) mewakili Partai Masyumi pada zaman demokrasi liberal. Pada tahun 1951, setelah tidak menjabat lagi, ia lebih memfokuskan diri pada bidang pendidikan dan memilih menetap di Yogyakarta. Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sampai tahun 1972. Pengakuan akan kedalaman pengetahuan agama yang dimilikinya menjadikannya Ash-Shiddieqy diangkat sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Hadits pada IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1960, dan mendapatkan gelar doctor honoris causa dari Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tahun 1975 dan juga dari IAIN Sunan Kalijaga pada tahun yang sama.
Di tengah-tengah kesibukannya sebagai tenaga pengajar, Ash-Shiddieqy masih berkesempatan untuk menuangkan pemikiran keislamannya dalam berbagai karya tulis dalam lintas disiplin. Tidak kurang ada sekitar 73 judul buku (142 jilid) dan 50 artikel yang telah diterbitkan dari hasil tulisan Ash-Shiddieqy. Dari tulisan-tulisan tersebut, 36 judul diantaranya membahas tentang fiqh, 8 judul membahas hadits, 6 judul tentang tafsir, 5 judul tentang tauhid atau ilmu kalam, dan selebihnya tulisan-tulisan dengan tema-tema umum.
Ash-Shiddieqy termasuk salah satu ulama modernis yang berkeyakinan bahwa pintu ijtihad belum atau tidak tertutup. Sebab ijtihad menurutnya adalah kebutuhan umat dari masa ke masa. Ijtihad akan sangat berguna untuk dapat mengikuti dinamika suatu masyarakat di suatu tempat pada waktu tertentu. Misalnya di Indonesia, diperlukan fiqh Islam yang “berkepribadian Indonesia”, maksudnya fiqh yang sesuai dengan sosio kultur dan reliji masyarakat Indonesia.
Untuk menuju fiqh Islam yang berwawasan Indonesia tersebut, Ash-Shiddieqy menawarkan tiga bentuk ijtihad:
1. Ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum produk ulama madzhab masa lalu. Ini dimaksudkan agar dapat dipilih pendapat yang masih cocok untuk diterapkan dalam masyarakat kita.
2. Ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum yang semata-mata didasarkan pada adat kebiasaan dan suasana masyarakat di mana hukum itu berkembang. Hukum ini menurutnya, berubah sesuai dengan perubahan masa dan keadaaan masyarakat.
3. Ijtihad dengan mencari hukum-hukum terhadap masalah kontemporer yang timbul sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti tranplantasi organ tubuh, bank, asuransi, inseminasi buatan, dan lain-lain.
Demikianlah salah satu pemikiran keislaman Ash-Shiddieqy, yang menunjukkan kedalaman dan keluasan wawasan keilmuan yang dimilikinya, meskipun dengan cara otodidiak, baik dalam bidang fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits dan ilmu kalam.
Pada tahun 1975, akhirnya Allah memanggil pulang hamba-Nya yang alim ini. Ash-Shiddieqy wafat di Jakarta dalam usia 74 tahun, setelah beberapa hari memasuki karantina haji, dalam rangka rencana menunaikan ibadah haji. Jasadnya dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Naskah terakhir yang beliau selesaikan adalah Pedoman Haji yang sekarang telah diterbitkan.

C. Latar belakang dan Sistematika Penyusunan Tafsir An-Nuur
Kitab tafsir ini ditulis dengan sebuah motivasi bahwa al-Qur’an adalah merupakan dustur tasyri’ (undang-undang dasar bagi perundang-undangan) yang perlu dijelaskan kepada seluruh kaum muslimin. Masalahnya selama ini kitab-kitab tafsir mu’tabar yang ada, sebagian besar berbahasa Arab. Bagi mereka yang memahami bahasa Arab, tentu bukan masalah untuk bisa membaca dan memahami salah satu dari kitab tafsir tersebut, namun bagi mereka yang tidak memiliki pengetahuan bahasa Arab, tentu menjadi kesulitan tersendiri jika harus merujuk kepada kitab-kitab tafsir berbahasa Arab ini. Sementara itu ada juga kitab tafsir yang ditulis oleh ilmuan Barat yang tidak beragama Islam. Hal ini juga merupakan masalah tersendiri, sebab tujuan penulisan tafsir para ilmuan Barat tersebut sangat tendensius dan jauh dari spirit Islam. Berangkat dari sini, Ash-Shiddieqy lalu menyusun kitab Tafsir yang dapat dibaca oleh mereka yang hanya bisa berbahasa Melayu umumnya, dan bahasa Indonesia khususnya. Kitab tafsir ini dinamakan An-Nuur yang artinya ‘cahaya’.
Kitab tafsir ini terdiri dari 5 jilid; jilid 1 terdiri dari 4 surat pertama, jilid 2 terdiri dari 6 surat berikutnya, jilid 3 terdiri dari 12 surat berikutnya, jilid 4 terdiri dari 17 surat berikutnya, dan jilid 5 terdiri dari 72 surat yang terakhir.
Ash-Shiddieqy menyebutkan bahwa dalam menyusun kitab tafsirnya, ia berpedoman pada kitab-kitab tafsir yang mu’tabar, kitab-kitab hadits yang mu’tamad, dan kitab-kitab sirah yang terkenal. Adapun sistem yang dipakai dalam penafsiran ini adalah:
1. Menyebut satu, dua atau tiga ayat yang difirmankan Allah untuk membawa suatu maksud, menurut tertib mushaf.
2. Menerjemahkan makna ayat ke dalam bahasa Indonesia dengan cara yang mudah dipahamkan, dengan memperhatikan makna-makna yang dikehendaki masing-masing lafal.
3. Menafsirkan ayat-ayat itu dengan menunjuk kapada sari patinya.
4. Menerangkan ayat-ayat yang terdapat di lain surat, atau tempat yang dijadikan penafsiran bagi ayat yang sedang ditafsirkan, atau yang sepokok, supaya mudahlah pembaca mengumpulkan, ayat-ayat yang sepokok dan dapatlah ayat-ayat itu ditafsirkan oleh ayat-ayat sendiri.
5. menerangkan sebab-sebab turun ayat, jika diperoleh atsar yang shahih yang diakui shahihnya oleh ahli-ahli atsar (ahli-ahli hadits).
Ash-Shiddieqy merasa perlu untuk menyebutkan apa sistematika yang dipergunakannya dalam penafsirkan untuk menolak anggapan bahwa karya tafsirnya ini merupakan jiplakan dari karya tafsir lain, sebagaimana nanti akan disinggung pada pembahasan berikutnya.

D. Metode Penulisan Tafsir An-Nuur
Sebagaimana telah jamak diketahui bahwa ada tiga metode penafsiran yang disepakati oleh para ulama Salaf atau mutaqaddimin, yaitu tafsir bi al-ma’tsur, disebut juga tafsir bi al-riwayat atau tafsir bi al-manqul (menafsirkan al-Qur’an berdasarkan riwayat dari Rasulallah, sahabat, tabiin dan tabiut tabiin), tafsir bi al-ra’yi was al-ijtihad, disebut juga tafsir bi al-dirayat atau tafsir bi al-ma’qul (menafsirkan al-Qur’an dengan bersandarkan kepada rasio dan olah piker serta penelitian terhadap kaidah-kaidah bahasa), dan tafsir bi al-isyarat atau tafsir isyari (disandarkan kepada tafsir sufiyah, yaitu menafsirkan al-Qur’an bukan dengan zahirnya, melainkan dengan suara hati nurani).
Sementara itu para ulama khalaf atau mutaakhkhirin kemudian mengembangkan metode tafsir menjadi tafsir tahlily (menafsirkan al-Qur’an dengan penguraian yang luas , dengan menyingkap seluruh maksudnya dan dan meneliti semua aspeknya), tafsir ijmaly (menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan global), tafsir maudlu’iy (menafsirkan al-Qur’an berdasarkan satu tema atau judul khusus), dan tafsir muqarin (menafsirkan dengan cara membandingkan suatu ayat dengan pendapat ulama).
Terdapat perbedaan diantara para ahli ilmu tafsir dalam menetapkan mana yang dimaksud dengan metode, corak, bentuk, dan sumber tafsir. Sebagian menjadikan tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi sebagai metode tafsir, ada yang memasukkannya dalam corak tafsir , namun ada yang mengklasifikasikannya sebagai bentuk tafsir , sementara itu ada juga yang mengkatagorikan sebagai sumber tafsir.
Dalam tulisan ini, yang maksud dengan metode tafsir adalah apa yang dirumuskan oleh ulama khalaf tentang 4 metode tafsir, yaitu: tahliliy, ijmaliy, maudlu’iy, dan muqarran. Sementara yang dimaksud dengan bentuk tafsir adalah pembagian ulama salah; tafsir bi al-ma’tsur (riwayat), tafsir bi al-ra’yi (dirayat), dan ditambah tafsir bi al-isyarat. Sedang yang dimaksud dengan corak tafsir adalah aliran atau disiplin ilmu tertentu yang mewarnai penafsiran; seperti corak bahasa, corak fikih, dan lain-lain.
Jika kita menelaah metode penyusunan tafsir an-Nuur ini, maka dapat dikatakan bahwa tafsir an-Nuur menggunakan metode ijmaliy sebagaimana sering ditemui dalam karya-karya tafsir dari mufassir Indonesia. Seperti telah disinggung sebelumnya, metode ijmaliy merupakan suatu metode yang digunakan untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan uraian yang singkat dan dalam bentuk global, tanpa uraian panjang lebar. Mufassir menjelaskan arti dan makna ayat sebatas artinya dan tidak menyinggung hal-hal lain selain arti yang dikehendaki. Hal ini dilakukan mufassir ayat demi ayat dan surat demi surat al-Qur’an, sesuai dengan urutannya dalam mushaf Utsmaniy.Kadangkala pada ayat-ayat tertentu mufassir menunjukkan sebab turunnya ayat, peristiwa yang dapat menjelaskan arti ayat, mengemukakan hadits Rasulallah atau pendapat ulama yang saleh.
Dalam hal ini, tafsir an-Nuur umumnya mengawali tafsir suatu surat dengan menyebutkan nama-nama lain dari surat tersebut, tempat turunnya, jumlah ayat, dan sejarah turunnya jika ada. Kemudian disebutkan kandungan isi dari surat tersebut dan mengaitkan surat tersebut dengan surat sebelumnya. Setelah itu, baru masuk kepada penafsiran ayat ayat dengan mengetengahkan pandangan penulis terhadap pemahaman ayat-ayat tersebut, dan juga mengutip pandangan para ulama tafsir lainnya, baik dari kalangan salaf maupun khalaf, di seputar masalah itu. Di samping itu penulis juga menuliskan hadits-hadits yang yang memiliki relevansi dengan suatu ayat sebagai bentuk penjelasan terhadap maksud ayat tersebut, atau pendapat seorang ulama tentang masalah tersebut. Penulis mengakhiri penafsirannya dengan suatu kesimpulan terhadap kandungan ayat-ayat yang telah ditafsirkan. Namun sebelum memberi kesimpulan akhir terhadap penafsiran satu atau beberapa ayat, penulis ada kalanya menyertakan asbab al-nuzul ayat jika memang dijumpai ada riwayat yang menyebutkan sebab turunnya.
Sebagian para pembaca tafsir ini menyatakan bahwa tafsir an-Nuur memiliki kemiripan dengan tafsir Al-Maraghi. Hal ini dijawab oleh Ash-Shiddieqy dalam muqaddimah tafsirnya bahwa memang ia merujuk kepada kitab tafsir al-Maraghi, disamping kitab-kitab tafsir lain seperti al-Manar, Tafsir Ibnu Katsir, tafsir al-Qasimy, dan tafsir al-Wadhih.
Tentang tafsir an-Nuur sendiri, sebenarnya telah ada kajian yang meneliti tentang metodologi yang digunakan oleh penulis dalam menyusun tafsir tersebut. Penelitian itu dilakukan oleh saudara Abdul Djalal HA, dalam disertasinya di IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1986 yang berjudul “Tafsir al-Maraghi dan Tafsir an-Nuur: Sebuah Studi Perbandingan”. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa jika menilik metode penafsiran yang dipakai dalam tafsir an-Nuur ini, maka akan didapati bahwa tafsir ini memadukan antara tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi, atau bentuk tafsir campuran antara riwayat dan dirayat. Model menafsirkan seperti ini juga dipakai oleh Ahmad Musthafa Al-Maraghi dalam kitab tafsirnya tafsir al-Maraghi. Karena kemiripan inilah ada sebagian kalangan yang menyatakan bahwa tafsir an-Nuur adalah terjemahan dari tafsir al-Maraghi.
Meskipun ada kesamaan bentuk penafsiran, tentu saja tafsir an-Nuur ini memiliki perbedaan dengan Al-Maraghi, hal ini sekaligus membantah anggapan bahwa Ash-Shiddieqy hanya menjiplak al-Maraghi dalam tafsirnya tersebut. Perbedaan yang nyata dari kedua tafsir tersebut adalah dalam;(1) sumber pengambilan (Al-Maraghi hanyalah salah satu dari sekian banyak kitab tafsir yang dijadikan rujukan oleh Ash-shiddieqy), (2)sistematika penulisan, jelas terdapat perbedaan antara keduanya, umpamanya didalam Al-Maraghi terdapat tafsir mufradat, sedangkan An-Nuur tidak ada, dan (3) cara menarik kesimpulan, pada An-Nuur selalu terdapat kesimpulan disetiap penulis mengakhiri penafsiran satu atau beberapa ayat, sedangkan pada Al-Maraghi tidak demikian.

D. Corak Penafsiran An-Nuur
Kitab-kitab tafsir yang ada, selain dapat dilihat dari sisi metodologinya, juga dapat dilihat dari sisi corak penafsirannya. Corak penafsiran adalah menafsirkan al-Qur’an dalam perspektif aliran, madzhab, dan disiplin ilmu tertentu. Menurut Said Agil Al-Munawwar, tafsir memiliki beberapa macam corak, yaitu tafsir fiqhi (menafsirkan al-Qur’an dengan menitik-beratkan pada aspek hukum atau fikih), tafsir falsafi (menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan filsafat), tafsir adabi (menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan balaghah dan yang berkaitan dengannya), dan tafsir ilmi (menafsirkan ayat-ayat kauniyyah yang terdapat dalam al-Qur’an dengan mengaitkan dengan ilmu pengetahuan modern), dan lain-lain.
Berbicara tentang corak tafsir an-Nuur, dengan mencermati isi tafsir tersebut, maka dapat dikatakan tafsir ini bercorak umum. Artinya tidak mengacu pada corak atau aliran tertentu. Tidak ada corak yang dominan yang menjadi ciri khusus pada tafsir ini. Semua menggunakan pemahaman ayat secara netral tanpa membawa warna khusus seperti akidah, fikih, tasauf atau lainnya. Komentar-komentar Ash-Shiddieqiy juga bersifat netral dan tidak memihak.
Suatu hal yang menarik adalah bahwa meskipun Ash-Shiddieqy juga seorang faqih yang telah banyak menulis buku-buku yang membahas tentang fikih, namun justru jika kita mencermati tafsir ini, sangat sulit kita mendapati pengaruh fikih di dalamnya. Hal ini juga yang membedakannya dengan tafsir Al-Maraghi, meskipun tafsir al-Maraghi tidak mencerminkan judul khas tafsir ahkam, namun latar belakang keilmuan dan lingkungan kerja Ahmad Musthafa al-Maraghi adalah sangat kental dengan ilmu-ilmu syariah, sehingga secara tidaka langsung turut mewarnai kitab tafsirnya. Ini dapat kita lihat di dalam kesimpulan-kesimpulan yang terdapat di dalam kitab tafsirnya. Sebagaimana penutup al-Maraghi terkadang memaparkan pula tentang istinbath hukum dari ayat-ayat hukum tertentu.

E. Penutup
Upaya untuk terus mengkaji dan memberi pemahaman yang benar kepada seluruh kaum muslimin tentang ajaran agama mereka terutama ajaran yang terkandung di dalam al-Qur’an adalah sangat dianjurkan oleh Rasulallah, beliau bersabda:
خيركم من تعلم القران وعلمه (الحديث)
“Orang yang terbaik diantara kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an kemudian mengajarkannya”
Mengkaji tafsir ayat-ayat al-Qur;an adalah salah satu bentuk yang banyak diminati oleh kaum muslimin, bahkan non muslim dalam rangka mendapatkan pemahaman ayat-ayat al-Qur’an.
Apa yang telah dilakukan oleh Ash-Shiddieqy dalam rangka membantu mereka yang tidak memahami bahasa Arab, agar dapat pula mempelajari tafsir al-Qur’an adalah sebuah usaha yang patut dipuji. Kitab tafsir berbahasa Indonesia (Melayu) ini cukup dikenal sampai ke negeri tetangga dan menjadi rujukan banyak kaum muslimin dalam upaya memahami ajaran Allah dalam al-Qur’an.Tentu sudah begitu banyak kaum muslimin yang mendapatkan manfaat dari keberadaan kitab tafsir ini, sehingga Insyallah ini merupakan amal jariyah penulis yang pahalanya akan terus mengalir meskipun sang penulis telah lama dipanggil Allah SWT.
Demikianlah ulasan dan penjelasan singkat tentang tafsir An-Nuur ditinjau dari metode yang digunakannya. Kiranya tulisan ini memang belum memadai untuk membahas secara keseluruhan dan sempurna terhadap karya tafsir yang sungguh bermanfaat ini. Namun demikian, uraian ini semoga dapat memberi gambaran, meski serba sedikit, tentang apa, siapa dan bagaimana dibalik kitab tafsir ini. Wallahu a’lam.

Leave a Reply