Pages

Minggu, 19 Desember 2010

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM

0 komentar
 
Islam adalah agama yang memberikan tatanan dan aturan yang lengkap bagi pemeluknya dalam menjalani kehidupan. Islam bukan hanya mengatur tata cara melakukan peribadatan kepada Sang Pencipta, namun juga memberikan arahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat individual dan atau yang bersifat kolektif.
Salah satu aspek kehidupan ummat manusia yang menjadi perhatian Islam adalah politik. Politik menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam. Berpolitik bukan hanya bermakna melakukan berbagai urusan yang berhubungan dengan kekuasaan, namun juga upaya menciptakan sistem yamg bersih dan berkeadilan. Itulah mengapa Syaikh Ibnul Qoyyim menyebutkan bahwa politik sebagai kegiatan yang menjadikan ummat manusia mendekat kepada hidup maslahat dan menjauhkan diri dari kerusakan, meskipun Rasulullah tidak meletakkannya dan wahyu tidak menurunkannya. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa setiap jalan yang ditempuh untuk menciptakan keadilan, maka itu adalah agama.
Dalam menegakkan kemaslahatan dan menghindar dari kerusakan agar tercipta keadilan sebagaimana dimaksud, Islam membuka peluang kepada setiap muslim, laki-laki maupun perempuan, untuk dapat berpartisipasi dan ambil bagian di dalamnya, sebagaimana firman Allah SWT:
Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (At-Taubah 71)
Dari ayat di atas, sangat jelas bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam berperan-serta untuk menciptakan kondisi yang ideal di tengah-tengah masyarakat. Demikianlah Islam memandang bahwa aktivitas yang mendatangkan kebaikan bagi ummat seharusnya dilakukan secara bersama-sama dan bekerja sama antara kaum laki-laki dan perempuan.
Partisipasi muslimah dalam masyarakat adalah suatu keniscayaan. Sebab tidak dapat dinafikan bahwa separuh jumlah manusia di bumi ini adalah perempuan. Ada begitu banyak persoalan-persoalan kemasyarakatan yang berkaitan dengan keberadaan perempuan, yang membutuhkan perhatian dan kepedulian dari kaum perempuan juga untuk mencarikan penyelesaiannya. Sehingga pada masa sekarang ini, partisipasi kaum perempuan dalam sektor publik memang menjadi tidak terhindarkan lagi.
Dan pemahaman seperti ini, sesungguhnya telah dengan baik diimplementasikan oleh para shahabiyah di masa Rasulullah. Dalam pentas sejarah Islam, tercatat begitu banyak nama para muslimah yang turut andil dalam berbagai bidang kehidupan. Ada Khadijah dalam aktivitas ekonomi, Ummu Sulaim yang turut dalam aktivitas militer, Rufaidah dalam aksi sosial kesehatan, Asy-Syafa dalam lapangan pendidikan, dan ada Aisyah yang pernah ikut dalam suatu aktivitas politik. Gambaran-gambaran ini seperti memberikan penjelasan bahwa ruang lingkup akttivitas muslimah sesungguhnya begitu luas dan variatif. Muslimah dalam Islam tidaklah terkurung dalam batas sekat-sekat rumah tempat tinggalnya.
Di dalam masyarakat muslim perbincangan tentang perempuan menjadi pemimpin telah lama mengemuka. Para ulama dan fuqaha dari semua madzhab Islam baik yang salaf (klasik) maupun yang khalaf (kontemporer) telah sepakat bahwa tidak sah dan haram perempuan menjadi kepala Negara. Ijma (konsesnsus) tersebut di dasarkan kepada sabda Rasulullah SAW:
“Lan yaflaha qoumun wallau amrohum imroatan” (Bukhariy)
Artinya: Tidak akan berjaya selama-lamanya suatu kaum yang (menyerahkan) kepemimpinan urusan mereka kepada perempuan (H.r. Bukhariy)
Ucapan Rasulullah diatas keluar ketika beliau mendengar pengangkatan Buran binti Kisra (putri raja Persia) sebagai raja menggantikan ayahnya yang telah wafat. Dari hadis tersebut para ulama menyimpulkan bahwa perempuan tidak diperkenankan menjadi pemimpin sebuah Negara. Hal ini terlihat dalam kata ‘amruhum’ yang berarti urusan secara umum. Jabatan kepala Negara dalam wacana hukum Islam termasuk walayah kamilah (kepemimpinan penuh), atau walayah ‘aamah (kepemimpinan umum) yang meliputi walayah diniyyah (kepemimpinan agama) dan walayah harbiyyah (kepemimpinan militer). Maka kedua kepemimpinan ini tidak dapat sepenuhnya diemban oleh perempuan, sesuai dengan kodrat dan fitrahnya. Adapun kepemimpinan perempuan pada sebagian urusan-urusan tertentu, dengan demikian tidaklah terlarang dan tidak ada halangan bagi perempuan untuk mengembannya.
Maka Islam memberi keleluasaan bagi perempuan muslimah untuk menjadi pemimpin di tengah-tengah masyarakatnya. Seorang muslimah dapat menyumbangkan kemampuannya, baik berupa fikiran, tenaga, waktu, atau harta yang dimilikinya untuk memberi kemaslahatan bagi masyarakat. Dalam hal ini, sangat dimungkinkan bagi seorang muslimah untuk berperan menjadi pemimpin di sebuah instansi atau lembaga, pemimpin yayasan, pemimpin perusahaan, atau pemimpin daerah seperti camat, bupati, walikota, atau gubernur.
Demikianlah bayan (penjelasan) tentang kepemimpinan perempuan muslimah ini kami sampaikan untuk menghilangkan keraguan yang mungkin masih ada di kalangan kader Partai Keadilan Sejahtera Sumatera Utara tentang boleh tidaknya seorang muslimah menjadi pemimpin. Wallahu a’lam.

Leave a Reply