Pages

Senin, 20 Desember 2010

الاجتهاد- تعريفه, ادواته و ضوابطه ( PENGERTIAN, PERANGKAT DAN PATOKAN IJTIHAD)

0 komentar
 
A. Pendahuluan
Nash (teks) Al-Qur’an dan Al-Hadits dipandang dari penunjukkan makna (dalalah) dan datangnya nash (wurud) terbagi menjadi dua yaitu qath’yi (pasti) dan dzanniy (dugaan). Nash qaht’iy adalah dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits yang pasti dan jelas penunjukan hukumnya, sehingga tidak perlu penjelasan tambahan untuk mendapatkan hukum yang terkandung dalam nash tersebut. Seperti nash tentang keberadaan Allah, mukjizat Rasul, kewajiban sholat lima waktu, larangan minum khamar, dll. Sedang nash dzanniy adalah dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits yang tidak jelas atau tidak pasti penunjukkan hukumnya, sehingga membutuhkan penjelasan untuk mendapatkan hukum yang terkandung didalamnya.
Nash-nash yang dzanniy ini merupakan bagian yang sengaja Allah berikan untuk memberikan kesempatan kepada kaum muslimin berpikir dan berusaha mencari jalan atau cara menyelesaikan masalah-masalah yang tidak dijelaskan hukumnya secara pasti oleh Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian akal yang merupakan karunia dari Allah dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mencari solusi dari semua permasalah manusia yang terus berkembang. Disinilah nilai keseimbangan dan fleksibelitas ajaran Islam. Seimbang dalam arti ; Islam memadukan hal-hal yang pasti dan tidak perlu pemikiran mendalam dengan adanya nash-nash qath’iy dan hal-hal yang tidak atau belum jelas yang memerlukan kedalaman berpikir. Fleksibel yang dimaksud adalah bahwa Islam akan terus bisa mengikuti perkembangan masa, karena Allah telah memberi peluang bagi manusia untuk merespon perkembangan zaman dengan diberinya kesempatan bagi akal untuk turut berperan bagi menyelesaikan persolan yang ada.
Masalah-masalah fiqhiyyah yang bersifat dzanni inilah yang menjadi tempat bagi ijtihad. Sebagaimana dialog yang terjadi antara Rasulallah dan Muazd bin Jabal ketika dilantik untuk menjadi gubernur di Yaman, Rasulallah bertanya kepadanya bagaimana cara menetapkan hukum, ia menjawab:
اقضي بما في كتاب الله قال فان لم يكن في كتاب الله قال فبسنة رسول الله قال فان لم يكن سنة رسول الله قال اجتهد رايي....
“…Aku tetapkan dengan apa yang tercantum dalam al-Qur’an. Kemudian Rasulallah bertanya: kalau kau tidak temui dalam alQur’an ?. Jawab Muadz: dengan apa yang ada di dalam sunnah Rasulullah. Rasulallah bertanya: kalau tidak ada dalam sunnah Rasulallah?. Jawabnya: aku akan berijtihad dengan pendapatku…(HR. Abu Dawud)

B. Pengertian ijtihad
Ijtihad menurut bahasa, berasal dari kata جهد , artinya: mencurahkan segala kemampuan, atau menanggung beban kesulitan. Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah ushul fiqh, sebagaimana dikemukakan Imam Asy-Syaukani adalah:
بذل الوسع في نيل حكم شرعي عملي بطريقة الأستنباط
“Mencurahkan segala kemampuan untuk memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis dengan jalan mengeluarkan /menyimpulkan hukum( istinbath)”
Difinisi ini kemudian dijelaskan oleh Asy-Syaukani sebagai berikut:
1. بذل الوسع : Sampai sang mujtahid tidak mampu lagi menambah usahanya. Ini berarti mengecualikan hukum-hukum yang didapat tanpa pencurahan kemampuan secara maksimal.
2. حكم شرعي : Selain dalam bidang hukum agama, tidak masuk katagori ijtihad. Sehingga orang yang mencurahkan usahanya dalam bidang bahasa umpamanya, tidak dikatakan mujtahid.
3. بطريقة الأستنباط : tidak termasuk ijtihad orang yang menetapkan hukum dari nash-nash yang jelas, dari hasil membaca buku-buku, atau dari hasil bertanya kepada seorang mufti (pemberi fatwa).
Sebagian ahli ushul fiqh menambah difinisi itu dengan kata-kata : الفقيه(seorang ahli fiqh), sehingga menjadi: “Mencurahkan kemampuan oleh seorang ahli fiqh…” ini memberi makna bahwa pencurahan kemampuan oleh orang yang bukan faqih, tidak dinamakan ijtihad.
Keberadaan ijtihad sesungguhnya sangat penting, sebab ijtihad dapat berfungsi sebagai: (1)Dinamisator atau penggerak dalam sistem hukum Islam. Bayangkan betapa berat dan sulitnya hidup dalam Islam jika tidak terbuka pintu ijtihad, sebab kehidupan ini terus berkembang dan berubah, demikian juga kebutuhan manusia terus bertambah. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa tantangan baru yang pasti tidak sama dengan kondisi ketika Islam ini diturunkan. Oleh karena itu lapangan ijtihad ada dua, yaitu perkara syariat yang tidak ada nashnya sama sekali, dan perkara syariat yang ada nashnya tetapi tidak pasti penunjukan maknanya. (2) Penyalur kreatifitas individual atau kelompok di dalam menanggapi peristiwa-peristiwa yang dihadapi. (3) Interpreter, yaitu pemberi tafsir yang tepat terhadap dalil-dalil yang dzanni. Maksudnya tafsir yang sesuai dengan semangat ajaran Islam sesuai dengan dalil yang integral dan selaras dengan tujuan diberlakukannya syariah (maqashid al-syari’ah) atau dengan kata lain tafsir yang paling dekat kepada nilai-nilai samawi. (4) Pembuktian (syahid) bahwa Islam Ya’lu wala yu’la alaih dalam kehidupan praktis manusia, hanya dengan ijtihad, dapat dibuktikan bahwa Islam adalah rahmatan lilalamin.
Lapangan ijtihad sendiri hanyalah terbatas pada nash-nash yang bersifat dzanniyah, yaitu untuk mencari pengertian yang lebih tepat dan kuat menurut pendapat mujtahid, namun pengertian yang dimaksud tidak keluar dari kandungan nash tersebut. Atau pada yang tidak ada nashnya sama sekali, disini para mujtahid berusaha mencari dan dan meneliti tanda (qarinah)yang menurut dugaannya bahwa itulah yang dimaksud oleh agama.

C. Perangkat ijtihad
Oleh karena di dalam berijtihad ada perangkat-perangkat pendukung, maka ijtihad tidaklah dapat dilakukan oleh setiap muslim. Ada persyaratan yang harus dipenuhi agar seorang dapat diakui layak menjadi mujtahid (orang yang berijtihad). Hal ini penting untuk menjaga agama dari berbagai penyimpangan yang dapat terjadi karena ketidak-tahuan (jahalah).
Di antara persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang yang akan melakukan ijtihad, sebagaimana disebutkan oleh para ulama dalam kitab-kitab ushul fiqh, adalah: 1. Persyaratan teknis, dan 2. Persyaratan kepribadian. Yang dimaksud persyaratan teknis adalah:
1. Memiliki pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah hukum.
2. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Nabi saw. yang berhubungan dengan masalah hukum.
3. Menguasai seluruh masalah yang telah ditunjukkan oleh ijma’, agar dalam menentukan sesuatu hokum tidak bertentangan dengan ijma’.
4. Memilki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat menggunakannya untuk istinbath hukum.
5. Mengetahui ilmu logika (mantiq), agar menghasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum, dan bisa mempertanggung-jawabkannya.
6. Memguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur’an dan Sunnah, sebagai sumber asasi hukum Islam, tersusun dalam gaya bahasa Arab yang sangat tinggi.
7. Memilki pengetahuan mendalam tentang nasikh mansukh dalam al-Qur’an dan Hadits, agar tidak menggunakan dalil yang telah dihapus dalam menggali hukum.
8. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab al-nuzul) dan latar belakang munculnya Hadits (asbab al-wurud), agar pumenggali hukum dengan tepat.
9. Mengetahui sejarah para perawi Hadits, supaya dapat menilai suatuHadits, apakah dapat diterima atau tidak.
10. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hokum (ushul fiqh), sehingga mampu mengolah dan menganalisis dali-dalil hokum untuk menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan digali hukumnya.
Persyaratan kepribadian juga mutlaq diperlukan, agar tidak terjadi seorang yang dinilai tinggi kadar ilmunya, namun keperibadiannya lemah dan akhlaqnya buruk, sehingga ilmunya tidak dapat diharapkan untuk memebimbimg umat dan membawa rahmat bagi manusia. Syaikh Muhammad Abu Zuhrah menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki seorang mujtahid, antara lain:
- Kecerdasan dan kearifan. Dengan sifat ini diharapkan seorang mujtahid dapat menggunakan ilmu-ilmu teknis diatas sebagai alat untuk memilah-milah antara pendapat-pendapat yang benar dan yang palsu, yang tepat dan yang menyimpang dari syariat.
- Niat yang tulus dan i’tikad yang baik. Niat yang ikhlas akan menjadikan hati diterangi cahaya Allah, sehingga akan dapat menenbus inti agama yang penuh hikmah ini. Orang yang ikhlas akan terjauh dari sifat fanatik , sebagaimana ungkapan para ulama: “ Pendapat kami benar namun mengandung kemungkinan salah, sedangkan pendapat orang-orang selain kami salah namun mengandung kemungkinan benar”
Perangkat-perangkat ijtihad ini memberikan gambaran bahwa kerja seorang mujtahid tidaklah mudah. Diperlukan ketekunan dan kesungguhan seseorang untuk bisa menguasai perangkat-perangkat tersebut.

D. Patokan-patokan ijtihad
Dalam berijtihad, para ulama telah meletakkan berbagai ketentuan-ketentuan yang menjadi rambu-rambu bagi siapa saja yang hendak melakukan ijthad. Sebab secara asal, sumber Islam hanyalah al-Quran dan as-Sunnah, ijtihad baru dapat digunakan jika dari kedua sumber ini tidak didapati penjelasan yang memadai untuk menetapkan status hukum suatu masalah.
Patokan-patokan ini dibuat untuk menjaga agar tidak terjadi penyimpangan dalam praktek ijtihad, dan agar sumber utama ajaran Islam tetap mendapat tempat yang semestinya dalam kehidupan kaum muslimin. Berikut ini ada beberapa patokan-patokan dalam berijtihad:
1. Ijtihad hanya diberlakukan pada masalah-masalah yang tidak atau belum ada ketetapan hukumnya baik dari al-Qur’an maupun al-Hadits.
2. Ijtihad juga berlaku pada nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits yang tidak jelas indikasinya (dznniy al-dalalah), namun tidak berlaku pada nash-nash yang jelas indikasinya (qath’iy al-dalalah).
3. Orang yang berijtihad, apabila benar, akan memperoleh 2 pahala, dan jika salah mendapat 1 pahala.
4. Suatu hasil ijtihad tidak dapat digugurkan oleh hasil ijtihad yang lain.
Demikianlah beberapa hal yang berkaitan dengan ijtihad. Meskipun tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun kiranya dapat membantu memberi gambaran walaupun sedikit, tentang ijtihad. Wallahu a’lam.

Leave a Reply