Pages

Sabtu, 28 Mei 2011

VISI HUKUM SYARA’ PADA MASA PEMERINTAHAN ABBASIYAH (Sebuah Review Terhadap Artikel “The Shar’i Islamic Vision” dalam Marshal G. Hodgson, The Venture of Islam)

0 komentar
 
A.Pendahuluan
Dinasti Abbasiyah lahir setelah Abdullah as-Saffah mendeklarasikan pemerintahannya di Masjid Kufah pada tahun 132 H / 749 M. As-Saffah selanjutnya berhasil mengalahkan Marwan ibn Muhammad, khalifah terakhir dinasti Umayyah. Seluruh wilayah pemerintahan Umayyah kemudian berada di bawah kendali Abbasiyah kecuali Andalusia.
Kelahiran dinasti Abbasiyah ini menandai era baru dalam sejarah Islam. Pemerintahan Abbasiyah berkuasa dalam jangka waktu yang sangat panjang, selama 524 tahun yaitu dari tahun 132 – 656 H / 749 – 1258 M. Kalangan sejarawan membagi masa pemerintahan Abbasiyah ini menjadi dua periode:
1. Periode kejayaan Abbasiyah, dimulai sejak tahun 132 H / 749 M hingga 247 H / 861 M. Tercatat ada sepuluh khalifah yang menjabat pada periode ini.
2. Periode kemunduran dan kehancuran Abbasiyah, dimulai dari tahun 247 – 656 H / 861 – 1258 M. Ada sebanyak 27 khalifah yang berkuasa di masa ini, meskipun secara de fakto penguasa sesungguhnya adalah dari kalangan militer.
Dinasti Abbasiyah pada periode pertama dianggap berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Abbasiyah lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Dinamika masyarakat dalam bidang pendidikan dan pengajaran demikian menonjol. Orang-orang berilmu mendapat tempat yang terhormat dan dekat dengan penguasa. Inilah salah satu perbedaan pokok antara Bani Abbasiyah dan Bani Umayyah.
Namun kajayaan Bani Abbasiyah akhirnya berakhir setelah pemerintahannya semakin lemah karena didera berbagai persoalan dan tantangan yang datangnya baik dari internal maupun eksternal Bani Abbasiyyah. Dan puncaknya adalah serangan tentara Mongolia, yang meluluh lantakkan Baghdad dan sekaligus mengakhiri 5 abad kekuasaan Abbasiyah.
Tulisan berikut ini mencoba hendak mengulas sebuah artikel, “The Syar’i Islamic Vision” yang ditulis oleh Marshal G Hodgson dalam bukunya The Venture of Islam. Secara umum artikel ini menyoroti – sebagaimana judulnya- implementasi pemberlakuan syari’at atau hukum Islam dimasa pemerintahan dinasti Abbasiyah dan berbagai hal yang terkait dengannya. Buku ini terdiri dari 3 jilid dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Paramadina Jakarta.
Sebagai sebuah karya tentang sejarah Islam, The Venture of Islam, telah menjadi salah satu karya referensi bagi para peneliti tentang fase-fase perkembangan umat Islam dari waktu ke waktu, termasuk di dalamnya tentang sejarah dan perkembangan hukum Islam. Sehingga buku ini dapat dikatakan, sedikit- banyak, telah memberi kontribusi terhadap khazanah pemikiran dan keilmuan, khususnya dalam bidang sejarah Islam.
Sang penulis, Hodgson, seperti ingin menyuguhkan kepada para pembaca tentang suatu dunia yang belum banyak disingkap, khususnya oleh para penulis yang memiliki orientasi keyakinan, kebudayaan dan etika moral yang berbeda dengan objek yang sedang ditelitinya. Sehingga tulisan ini tentunya jadi menarik, sebab penulis berusaha memaparkan kajiannya seobyektif mungkin, terlepas dari apa motivasi di balik penulisan karya ini.

B. Aspirasi Syariat Islam
Secara terminologi kata syariah diartikan sebagai seperangkat norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidupan sosial, dan hubungan manusia dengan makhluk lainnya dalam lingkungan hidupnya. Jika kita menjumpai kata syariah dalam literatur-literatur, maka terdapat tiga kemungkinan yang dimaksud dengan kata tersebut; (1) syariah dalam arti hukum yang tidak dapat berubah sepanjang masa, (2) syariah dalam pengertian hukum Islam, baik yang dapat berubah maupun yang tetap dan tidak menerima perubahan, dan (3) syariah dalam pengertian hukum yang terjadi berdasarkan istinbath dari al-Qur’an dan al-Hadits, yaitu hukum yang diinterpretasikan dan dilaksanakan oleh para sahabat Nabi Muhammad, hasil ijtihad para mujtahid, dan hukum-hukum yang dihasilkan oleh ahli hukum Islam melalui metode qiyas dan metode ijtihad lainnya.
Dalam artikelnya, Hodgson menyebutkan bahwa hampir semua tradisi agama memiliki aspirasi relijius yang berkecendrungan pada keinginan untuk memperbaharui semua pola-pola sosial sesuai dengan tuntutan agama. Dalam hal ini ia membandingkan antara ajaran Tao, Buddha, Kristen, Yahudi, Mazdean dan Islam. Ia menyimpulkan bahwa Tao dan Buddha gagal mewujudkan aspirasi tersebut. Kristen pada awalnya berhasil, namun menghadapi tantangan berat pada perkembangan berikutnya dengan menyusupnya paganisme dalam ajarannya. Sementara Yahudi, Mazdean dan Islam dianggap relatif berhasil meskipun dengan corak yang berbeda-beda. Mazdaisme berakhir dengan lahirnya pelapisan sosial, dimana para pendeta mereka menduduki posisi yang sangat menonjol. Sedang pada Yahudi terjadi perubahan setelah kejatuhan Yerusalem, dimana sistem kependetaan digantikan dengan kelas orang-orang terpelajar, yaitu para Rabi yang punya kemampuan menafsirkan hukum agama, namun secara sosial mereka tidak berbeda dengan masyarakat secara umum. Hal mana yang menurut Hodgson terjadi juga pada Islam. Bedanya jika Yahudi bergerak hanya pada komunitas mereka saja, namun Islam terus melanjutkan aspirasi tersebut keseluruh komunitas lainnya. Sehingga disamping “membumikan” hukum agama, Islam juga memandang perlunya menekankan pada tanggung jawab politik yang secara umum terkena pada setiap muslim. Islam harus disebarkan ke seluruh umat manusia, untuk itu cara yang paling tepat adalah Islam harus menguasai dan kemudian menggantikan yang lain. Inilah aspirasi Islam yang spritualis, populis dan universal, yang oleh Hodgson disebut sebagai Shari’ah- mindedness.
Dalam penerapan hukum-hukum agama, Islam telah meletakkan dasar-dasar / teori hukum yang komprehensif dan konkrit. Islam mendasari semua perbuatan manusia pada konsep yang menekankan tanggung jawab manusia secara langsung kepada Tuhan, dan menjadikan komunitas Kota Madinah diawal risalah Islam sebagai model acuan. Sebab di Madinah Rasulallah telah meletakkan pola-pola bermasyarakat dan norma-norma berpolitik secara final. Ini berarti bahwa cita-cita hukum Islam telah terbentuk di Madinah dan memunculkan citra komunitas Madinah yang ideal sebagai basis hukum dan berfungsi sebagai pola dalam merumuskan teori-teori syariah selanjutnya.

C. Syari’at Islam dari Masa Ke Masa
Pada periode pasca Rasulallah, syariah Islam yang berkenaan dengan tatanan sosial terus berlanjut. Meskipun pola Madinah awal tetap menjadi acuan bagi kaum muslimin, namun berkembangan kaum muslimin dari waktu ke waktu menuntut adanya adaptasi di sana-sini. Sebab terdapat perbedaan yang jelas pada komunitas muslim awal dengan komunitas sesudahnya. Komunitas Madinah yang dibangun Rasulallah memiliki ciri-ciri:
- Adanya orientasi yang ideal, yaitu keshalihan yang disambut oleh para sahabat.
- Adanya hubungan yang kuat antar individu
- Adanya homogenitas kultural yang didukung oleh kesetiaan kelompok
Kaum muslimin pasca Madinah dihadapkan pada tantangan bagaimana mereproduksi ciri-ciri Madinah diatas pada masyarakat muslim yang semakin luas dan memiliki sejumlah perbedaan dengan Madinah.
Apa yang dilakukan Umawiyyah dengan kebijakan Arabisme pemerintahan, nampaknya cukup manjur untuk mereproduksi cita-cita Madinah ke dalam masyarakat Islam di masanya. Namun kebijakan homogenitas Arab muslim ini berimplikasi pada pengakuan terhadap tradisi-tradisi Arab lokal, yang pada perkembangan selanjutnya mengkristal menjadi ajaran /doktrin ijma, yaitu bahwa apa yang diterima secara umum oleh komunitas umat kemudian dipandang sebagai pendapat pentahbisan dari Tuhan.
Implikasi lain, oleh karena pengetahuan seputar Madinah ini perlu diwariskan kepada komunitas yang lebih luas, hal ini membangkitkan upaya untuk merekam apa saja yang telah terjadi di Madinah agar nantinya dapat dibaca oleh semua orang. Mulailah dilakukan usaha untuk menghimpun riwayat-riwayat yang menceritakan pengalaman Madinah. Adalah Imam Malik, salah seorang yang telah memulai usaha ini dengan kitabnya Al-Muwaththa’. Usaha menghimpun pengetahuan Madinah ini kemudian mendapat perhatian yang cukup signnifikan dari masyarakat. Orang-orang shalih di masa Umayyah mengutamakan sandaran keilmuan mereka kepada warisan Madinah untuk dapat diaktualisasikan pada komunitas yang lebih luas.
Pada pemerintahan Abbasiyyah, kaum muslimin sudah semakin banyak dan meliputi daerah yang sangat luas. Sehingga model Arabisme yang diterapkan di masa Umayyah tidak efektif lagi, untuk dapat membentuk pola-pola sosial seperti cita-cita Madinah. Maka yang dilakukan oleh para fuqaha masa ini adalah mengembangkan prinsip-prinsip yang telah ada pada masa Umayyah menjadi suatu sistem hukum Islam teknis yang kompleks. Sebagaimana yang dilakukan oleh imam Syafi’i yang telah meletakkan dasar-dasar sistem hukum Islam yang dikenal dengan ushul fiqh. Imam Syafi’i membuat kaidah-kaidah yang berkaitan dengan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai dua sumber utama dalam hukum Islam, dan melengkapinya dengan prinsip qiyas dan ijma sebagai sumber lainnya.
Hodgson menyebutkan bahwa metode Imam Syafi’i tersebut sangat faktualistik dan efektif, sebab hampir tidak memberi peluang sedikitpun bagi fantasi pribadi dalam penetapan suatu hukum. Suatu keputusan hukum harus dapat dibuktikan kebenarannya melalui kriteria yang ketat baik secara linguistik maupun logis.
Sejalan dengan kemunculan ilmu ushul fiqh , berkembang pula kritik dokumentasi isnad dan ilmu rijal yang keduanya adalah bagian penting untuk mengetahui akurasi historis terhadap dokumentasi suatu riwayat yag disandarkan kepada Rasulallah.
Hukum Islam pasca Syafi’i mengalami perkembangan secara terus menerus, namun sistem Syafi’i tetap menjadi acuan sebagai suatu disiplin ilmu hukum yang sistematik. Kajian –kajian yang memetakan seputar ibadah dan hubungan antar pribadi menjadi kajian yang disebut fiqh. Fiqh menjadi suatu proses yang sangat teknis, yang didasarkan pada perdebatan di seluruh komunitas muslim. Tradisi fiqh inilah yang kemudian melahirkan madzhab-madzhab fiqh dalam Islam.
Dengan demikianlah pada masa Abbasiyyah ini telah terbentuk struktur fiqh yang solid, yang mengatur berbagai persoalan keummatan. Mulai dari tata cara peribadatan kapada Sang Pencipta, sampai pada berbagai hal yang berkaitan dengan persoalan antar menusia lainnya.

D. Visi Hukum Islam
Mencermati artikel Hodgson, kita akan merasakan sudut pandangnya dalam menilai hukum Islam yang lebih kepada analisa sosiologis, yaitu menghubungkan suatu praktek hukum Islam yang nota benenya merupakan produk fiqh dengan ilmu kemasyarakatan kontemporer. Hodgson mencatat paling tidak ada beberapa hal yang merupakan visi yang membingkai bangunan hukum Islam tersebut.
Pertama, dalam menilai semangat atau spirit hukum Islam , Hodgson menghadirkan gambaran sosok hukum Islam diantara tata tertib umum dan hak-hak individu. Produk hukum Islam pada kenyataannya lebih mengedepankan urusan-urusan publik yang didalamnya ada kepentingan-kepentingan individu dari pada kepentingan-kepentingan kolektif. Sebagaimana yang disebutkan oleh Hodgson: “The shari’ah was above all the norm of the m uslim community as a community. However (as already in Marwani times), this was a public order in which individual rights, as we shall see, often took precedence over colective interests” (Syariah pada dasarnya merupakan norma bagi komunitas muslim sebagai sebuah komunitas. Meskipun begitu (seperti yang pernah ada pada pada masa Marwani) ini merupakan ketertiban umum dimana hak-hak individu seperti apa yang akan kita lihat sering lebih diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan kolektif).
Dalam masalah ibadah umpamanya tidak ada perbedaan yang jelas antara ibadah yang bersifat pribadi atau ibadah seremonial yang umum. Sebab Islam tidak mengenal adanya sistem kependetaan, imam dalam Islam hakekatnya hanya bagaikan model bagi yang lainnya. Sehingga kegiatan ibadah yang bersifat kolektif sangat tergantung kepada partisipasi setiap individu yang terlibat disana.
Implikasi dari visi ini adalah kewajiban-kewajiban ritual perseorangan dijabarkan dengan sangat rinci baik dengan berlandaskan hadits ataupun pendapat ulama madzhab.Sebuah contoh tentang ini adalah; bagaimana seseorang harus meletakkan tangan pada tahap-tahap pelaksanaan sholat. Penjabaran yang sangat detil ini terutama terlihat pada pelaksanaan 5 rukun dalam Islam. Namun demikian hal ini dijumpai juga pada peraturan-peraturan yang bersifat ketertiban umum, seperti peraturan di pasar dan masjid, yang lagi-lagi lebih bermuatan kepentingan individual dari pada kolektif.
Kedua, dalam menilai hukum keluarga, Hodgson menyimpulkan bahwa Islam menekankan pada kesamaan dalam status pribadi. Meskipun sangat nampak superioritas laki-laki terhadap para perempuan, namun peraturan dan hukum yang berkaitan dengan perkawinan dalam Islam mendorong kepada egalitarianisme dan mobilitas sosial.
Dalam hal ini Hodgson membandingkan dengan Kristen dan Mazdean, dimana keberadaan istri pertama dan anak-anaknya memiliki hak-hak istimewa daripada istri-istri kedua dan selanjutnya dari sisi status kehormatan dan kepemilikan. Dalam hukum Islam, yang membolehkan (baca: membatasi) laki-laki memiliki 4 orang istri, maka keempat istri dan juga anak-anak mereka memiliki hak yang mutlaq sama. Yang lebih menarik lagi, ketika perbudakan masih eksis, anak seorang budak dari hasil hubungannya dengan tuannya memiliki hak yang sama persis dengan anak-anak yang lahir dari istri-istri yang merdeka.
Ketiga, hal lain yang juga disoroti oleh Hodgson dalam hubungannya dengan visi hukum Islam adalah pembatasan-pembatasan pada otoritas kolektif. Bahwa ajaran Islam menjadikan lahirnya egalitarianisme individuallistik pada pemeluknya secara umum, dimana prinsip bahwa setiap orang bertanggung jawab langsung kepada Tuhannya menjadi begitu kuat. Meskipun demikian, namun tidak berarti bahwa lembaga atau intitusi umum tidak diperlukan. Seorang imam atau khalifah tetap dibutuhkan untuk mengisi peran yang telah dimainkan Rasulallah di Madinah di dalam memimpin penerapan kehendak Tuhan, terutama untuk menjalankan perintah dalam urusan-urusan umum (public affairs).
Menurut Hodgson keberadaan figur imam atau khalifah seperti itu pada hakekatnya menyimpan persoalan yang krusial. Sebab dalam banyak hal ia dituntut lebih sebagai penjamin otoritatif dari ilmu atau prinsip yang telah ada ketimbang sebagai penengah yang aktif secara pribadi dalam konflik yang terjadi. Dalam hal ini komunitas masyarakat memiliki andil yang sangat kuat untuk menentukan siapa yang pantas menjadi penguasa mereka secara politis untuk menjaga prinsip-prinsip yang selama ini telah diyakini tersebut. Sehingga secara de fakto seorang penguasa memang diakui keberadaanya, namun sesungguhnya ia tidak memiliki otoritas apa-apa sebagai penjamin hukum syariah.
Menurut Hodgson bahwa pada mulanya dimasa Abbasiyah terdapat dua tatanan keadilan. Di satu sisi ada tatanan yang menjadi otoritas para ulama, melalui qadhi-qadhi di lembaga-lembaga pengadilan dengan menjadikan syariah sebagai dasar pijakannya.. Pengadilan para qadhi ini dibatasi hanya mengatur sektor-sektor komersial dan keluarga saja. Dan pada sisi lain ada tatanan keadilan yang menjadi otoritas penguasa (khalifah) yang dapat memutuskan suatu hukuman tanpa pertimbangan qadhi. Umumnya pengadilan penguasa dilakukan untuk menebus kesalahan-kesalahan madzalim(kasus-kasus kriminalitas). Sebab seorang khalifah adalah bayangan Tuhan di dunia. Dengan demikian di samping ada pengadilan qadhi biasa, ada juga pengadilan penguasa yang sedapat mungkin tetap berpijak pada syariah.
Namun dalam periode Abbasiyah berikutnya, para ulama merumuskan ulang tentang tempat teoritis untuk istana. Para ulama baik dari kalangan Sunnah maupun Syiah, tetap menerima dan mengakui posisi khalifah, namun tanpa wewenang hukum. Wewenang hukum menjadi bagian kelas para pemilik ilmu pengetahuan atau para intelektual (ulama). Sedangkan peran pemerintah atau kelas politik adalah dalam bidang administrasi. Visi inilah yang menurut Hodgson menjadi penyebab melemahkan dinamika dan daya dorong politik para khalifah.
Berbicara tentang peran kaum intelektual, Hodgson tidak lupa menggambarkan bagaimana pola-pola intelektual itu dibangun dalam kaitannya dengan syariah Islam. Telah jamak diketahui tentang besarnya semangat dan minat umat Islam terhadap pengkajian al-Quran, yang kemudian berkembang kepada pengkajian al-Hadits dan yurisprudensi fiqh di mana dari semua kajian ini menghasilkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berorientasi pada syari’ah minded, jika tidak dapat dikatakan orthodok.
Para intelektual muslim memandang bahwa syariah sangat fundamental bagi kehidupan dan menjadi pengikat hampir semua kaum muslimin. Karena itu sistem syariah merupakan sesuatu yang permanen di seluruh sejarah muslim berikutnya. Untuk itulah demi menjamin keabsahan syariat, dikembangkan suatu ikhtiar intelektual yang diolah oleh orang-orang shalih yang memunculkan seperangkat pola intelektual dengan beragam tehnik, namun memiliki kesamaan dalam semangatnya yaitu populistik dan faktualistik.
Semangat ini dapat dilihat terutama dalam bidang penyelidikan historis, yang menggunakan tehnik periwayatan hadits dan isnad. Apa yang dilakukan Ibnu Jarir Ath-Thabari, seorang sejarawan muslim masa Abbasiyah dapat diangkat sebagai contoh. Metode penulisan sejarah Thabari jelas menghindar dari memberi interpretasi apapun terhadap peristiwa sejarah. Thabari menggunakan metode verbatim, yaitu menceritakan sesuatu peristiwa semata-mata berdasar melalui seleksi, penyusunan, dan dokumentasi yang cermat dari riwayat-riwayat secara apa adanya.
Bagi Hodgson, metode verbatim ini menjadikan gambaran sesuatu jadi sangat terbatas. Dari sudut gaya, gambar yang dihasilkan cenderung sedikit membingungkan, khususnya bagi pembaca yang belum mengetahui outline utamanya. Terjadi banyak pengulangan di sana-sini, dan terkadang dapat menghilangkan kejelasan masalah utamanya, yang berdampak pada kegagalan dalam mengemukakan rekonstruksi peristiwa tersebut. Seperti yang terjadi pada laporan Thabari tentang peristiwa wafatnya Khalifah Utsman ibn Affan.
Namun demikian metode verbatim juga memiliki nilai lebih dalam hal akurasi data, karena bertolak pada dokumentasi yang ketat dari tiap riwayat melalui isnad-nya. Selain itu, metode ini memberi kesempatan kepada setiap pembaca untuk memberi penilaian dan kesimpulan sendiri terhadap berbagai peristiwa sejarah, karena penulis tidak ikut melibatkan diri terhadap kecendrungan sesuatu issu.

E. Beberapa Catatan
Artikel ini secara keseluruhan sangat menarik, sebab bukan saja karna faktor penulisnya yang berasal dari latar belakang Barat yang non muslim, namun juga factor pengetahuan penulisnya yang cukup dalam terhadap berbagai persoalan Islam. Jika selama ini tulisan-tulisan tentang Islam lahir dari penulis-penulis muslim sendiri, maka dapat dikatakan tulisan ini adalah sebuah karya untuk memperkenalkan Islam yang ditulis oleh orang dari kalangan luar Islam.
Terhadap apa yang dituangkan Hodgson dalam artikel tersebut, ada beberapa catatan yang kiranya cukup baik untuk diangkat sebagai pembanding, khususnya yang berhubungan dengan tema besar artikel ini yaitu tentang visi hukum Islam, sehingga akan menampakkan segi-segi kesamaan atau perbedaannya.
Yang pertama tentang, spirit hukum Islam: antara tata tertib umum dan hak-hak individu.
Secara umum hukum itu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang disesuaikan dengan sistem nilai yang dianut masyarakat tersebut Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum (ubi cocietas, ibi ius), demikianlah juga yang terjadi pada masyarakat Islam. Ketika Islam datang dengan membawa sistem nilai yang sama sekali berbeda dengan sistem nilai sebelumnya, maka diperlukan usaha untuk mengarahkan perilaku masyarakat menuju nilai-nilai yang baru ini. Sebab fungsi hukum baru akan terealisir di antaranya jika ada kepatuhan masyarakat terhadap hukum tersebut.
Sebab Islam hendak membentuk tatanan masyarakat baru yang memiliki martabat kemanusiaan, yang menjadikannya layak untuk mengemban amanah mulia untuk mengurus diri, masyarakat dan lingkungan hidupnya (Q.S.33: 72). Inilah yang dalam istilah fiqh disebut taklif. Untuk itu Islam memberikan petunjuk penyelenggaraan hidup kepada manusia, yang mengandung hak di satu sisi, dan kewajiban di sisi yang lain. Jadi pada hakikatnya manusia adalah pengemban hak.
Dengan asumsi bahwa dibalik hak ada kewajiban, maka hak itu sendiri ada dua macam, ada hak Allah (huquq al-Allah) dan hak hamba (huquq al-ibad). Sementara hak hamba diklasifikasikan lagi menjadi yaitu hak-hak individu (diambil dari fardlu ain) dan hak masyarakat (diambil dari fardu kifayah). Dengan demikian menjadi jelas bahwa Islam memberikan perhatian baik kepada hak individu dan hak masyarakat. Namun sesungguhnya hak masyarakat lebih diutamakan dari hak-hak individu, sebab hak induvidu menjadi terbatas jika disalah-gunakan sehingga menimbulkan kesulitan atau bahaya bagi orang lain. Oleh karena itu ada kaidah ushul; tidak boleh membahayakan diri dan tidak boleh juga membahayakan orang lain.
Adapun pernyatakan Hodgson yang disertai dengan contoh-contoh bahwa hukum Islam lebih mengutamakan kepentingan individu daripada kepentingan publik, jelas di sana ada ketidak-tepatan. Dari contoh yang dikemukakan bahwa hal-hal rinci yang diatur dalam hukum Islam itu ternyata berkaitan dengan masalah-masalah yang bersifat permanen, seperti masalah ibadah dan akhlaq. Aturan secara rinci ini memungkinkan karena itu adalah persoalan yang tidak akan berubah sepanjang masa. Sedang dalam hal yang terus mengalami perubahan, Islam memang tidak memberikan aturan secara rinci, namun cukup bersifat global.
Yang kedua, tentang hukum keluarga yang menekankan kepada persamaan status pribadi.
Pernyataan Hodgson ini dapat bermakna sebagai pandangan positifnya terhadap sistem keluarga dalam Islam. Sebab Islam datang untuk merubah kondisi dari penghambaan manusia kepada manusia menjadi penghambaan manusia hanya kepada Allah. Sehingga semua manusia pada hakikatnya memiliki kesamaan status.
Menjadi istri kedua, dan seterusnya tidak serta merta menjadikan seorang wanita harus direndahkan. Sebab ukuran kebaikan dan keburukan dalam Islam telah final, yaitu dikaitkan dengan ketaatan dan pembangkangan seseorang terhadap Allah. Demikian juga dalam perolehan hak, sangat berbanding lurus dengan pelaksanaan kewajiban. Sehingga seorang istri yang telah melaksanakan kewajibannya, maka ia layak untuk mendapatkan haknya, hal mana berlaku juga pada suami.
Bahwa dalam masyarakat Islam, dominasi dan superioritas laki-laki atas perempuan tampak nyata adalah sesuatu yang faktual. Sayangnya Hodgson tidak membedakan apakah praktek tersebut lahir dari ajaran dan hukum Islam yang dinyatakan oleh nash, ataukah hasil interpretasi ulama terhadap teks-teks nash tersebut yang dilatar-belakangi oleh tradisi suatu masyarakat yang telah berlaku bahkan sejak sebelum datangnya Islam. Karena pada kenyataannya, banyak ajaran yang memarjinalkan posisi kaum wanita justru bersumber dari interpretasi-interpretasi para ulama yang tersebar pada kitab-kitab fiqh.
Ketiga, pembatasan-pembatasan pada otoritas kolektif.
Agak sulit untuk mengamini pandangan Hodgson dalam hal ini. Bahwa khalifah sangat terbatas kewenangannya, hanya pada persoalannya bersifat administrasi, sedang otoritas hukum adalah milik para ulama. Sebab ternyata hal tersebut adalah sebuah perkembangan dari mana sebelumnya khalifah juga punya otoritas untuk mengadakan sidang pengadilan dan memberi keputusan terhadap berbagai kasus kriminalitas. Bahkan jika ditarik jauh kebelakang, pada periode 4 khalifah rasyidah, jelas bahwa seorang khalifah disamping sebagai pemimpin negara, dia juga merupakan tokoh spiritual yang alim dalam pemahaman agama.
Jika yang dimaksudkan oleh Hodgson bahwa visi tersebut adalah sebuah respon atau reaksi terhadap kondisi khalifah-khalifah yang lemah dimasa Abbasiyyah periode kedua, hal ini memang dapat diterima. Sebab sebagaimana telah diungkap diawal, Abbasiyah periode kedua dikuasai oleh militer, khalifah hanya sebagai simbol persatuan ummat.
Namun bahwa otoritas hukum harus berada pada tangan orang-orang alim dapat dibenarkan. Sebab dalam Islam para ulama adalah pewaris para nabi, dimana sangat dimungkinkan orisinalitas agama akan tetap terjaga di tangan para ulama.

F. Penutup
Demikianlah sekilas catatan -yang tentu saja teramat sangat sederhana- terhadap artikel Hogdson tersebut. Catatan ini sudah pasti tidak sebanding dengan ketajaman analisa Hodgson dalam artikelnya. Untuk bisa melakukan review terhadap pandangannya, dibutuhkan seorang penulis yang kaya akan pengetahuan keislaman dan memahami ilmu tentang realitas kemasyarakatan.
Namun demikian, kiranya tulisan ini dapat memberi gambaran -meskipun belum memadai- tentang pandangan seorang Hodgson terhadap visi hukum Islam.

Leave a Reply