Pages

Sabtu, 28 Mei 2011

MAQASID AL-SYARIAH (2)

0 komentar
 


Semua persoalan dalam kehidupan di dunia ini pasti ada aturannya dari Allah. Aturan Allah itu dapat ditemukan secara harfiyah dalam al-Qur’an atau dibalik yang harfiyah itu. Dari segi ini, hukum Allah dapat ditemukan dalam tiga kemungkinan sebagai berikut:
1. Hukum Allah dapat ditemukan dalam ibarat lafaz al-Qur’an menurut yang disebutkan secara harfiyah. Bentuk ini disebut “hukum yang tersurat dalam al-Qur’an”.
2. Hukum Allah tidak ditemukan secara harfiyyah dalam lafaz al-Qur’an maupun Sunnah, tetapi dapat ditemukan melalui isyarat atau petunjuk dari lafaz yang disebutkan dalam al-Qur’an. Hukum dalam bentuk ini disebut “hukum yang tersirat dibalik lafaz al-Qur’an”.
3. Hukum Allah tidak dapat ditemukan dalam harfiyah lafaz dan tidak pula dari isyarat suatu lafaz yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah, tetapi dapat ditemukan dalam jiwa dari keseluruhan maksud Allah dalam menetapkan hukum. Hukum Allah dalam bentuk ini disebut “hukum yang tersuruk (tersembunyi) di balik al-Qur’an”.

Khusus untuk mengetahui “hukum yang tersuruk”, memang sangat diperlukan daya dan kemampuan ra’yu (nalar) yang tinggi. Bila untuk mengetahui “hukum yang tersirat” ada pedoman yang digunakan dalam menetapkan hukumnya yaitu kaitannya dengan nash, maka untuk mengetahui “hukum yang tersuruk” tidak ada yang dapat dijadikan pedoman yang kuat. Untuk maksud itu sangat diperlukan kemampuan menggali hakikat dari tujuan Allah dalam menetapkan hukum atas suatu kejadian. Bila hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an dianalisa, maka dapat dipahami bahwa dasarnya Allah menetapkan hukum itu adalah untuk mendatangkan kemaslahatan bagi manusia , baik dalam bentuk mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudharat (kerusakan). Karena itu hakikat dari tujuan hukum itu dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum fikih.
Dengan demikian, bila dalam suatu kejadian terdapat kemaslahatan yang bersifat umum dan tidak ada dalil nash yang berbenturan dengannya, maka pada kejadian itu seorang mujtahid dapat melahirkan ketentuan hukum. Usaha penemuan hukum melalui cara ini dikenal dengan nama maslahah mursalah.
Maslahah merupakan suatu topik pembahasan dalam kajian keislaman. Konsep maslahah dalam syariat Islam menduduki posisi penting, sekaligus potensial dalam upaya pembinaan dan pengembangan fikih yang bisa menjawab tantangan zaman yang terus berkembang dengan membawa masalah-masalah dan persoalan-persoalan baru.
Kata maslahah berarti kebaikan yang besar lagi langgeng atau kebaikan untuk umum (public good), dengan cara menarik manfaat dan menolak bahaya. Kerangka maslahat terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Al-maslahah al-mu’tabarah (المصلحة المعتبرة)
Yaitu suatu yang secara logika bermanfaat yang diakui oleh syariat dan syariat telah menetapkan beberapa hukum yang dapat menjaga kemaslahatan tersebut. Contohnya berbuat baik kepada orang tua. Secara logika wajib seorang anak berbuat baik kepada orang tuanya, dan syariatpun telah ditetapkan hukum dalam hal itu.
2. Al-maslahah al-mulghah (المصلحة الملغة)
Yaitu sesuatu yang secara logika bermanfaat tapi tidak diakui oleh syariat, dan syariat telah menetapkan hukum yang menunjukkan tidak berlaku lagi kemaslahatan tersebut. Contohnya riba (bungan uang), secara logika riba memberi keuntungan tapi syariat tidak mengakuinya dengan melarang praktek riba.
3. Al-maslahah al-mursalah (المصلحة المرسلة)
Yaitu sesuatu yang secara logika bermanfaat tetapi syariat tidak memberi sesuatu ketetapan apapun baik kebolehannya atau pelarangannya. Contohnya kodifikasi al-Qur’an menjadi satu mushaf seperti yang dilakukan khalifah Utsman bin Affan, menetapkan penaggalan hijrah oleh khalifah Umar ibn al-Khattab, dll.
Khusus untuk al-maslahah al-mursalah ada syarat-syarat yang perlu diperhatikan dalam menetapkan jenis maslahah ini:
1. Maslahah itu benar-benar ada (haqiqiyah), bukan praduga (wahamiyah).
2. Maslahah tersebut bersifat umum (kulliyah), bukan bersifat pribadi.
3. Tidak bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan dengan nash (al-Qur’an dan Hadits) atau dengan ijma’ ( kesepakatan) ulama Islam.
Imam Al-Syatibi menambahkan 2 syarat lagi bagi penetapan maslahah :
4. Maslahah itu harus rasional (ma’qulah).
5. Maslahah itu tidak berlaku pada persoalan ibadah (ta’abbudi).
Sebagai conoh berikut ini akan diketengahkan sebuah kasus yang dapat diselesaikan hukumnya dengan jalan maslahah mursalah sesuai dengan syarat-syarat diatas;
Masalah pencakokan kornea mata dari orang yang telah meninggal kepada seseorang yang memerlukannya.
Masalah ini tentu tidak terdapat hukumnya secara harfiyah dalam al-Qur’an, begitu pula dalam Hadits karna belum pernah terjadi di zaman Rasulallah. Juga tidak mungkin ditemukan kaitannya dengan salah satu lafaz yang terdapat dalam nash. Manfaat dari perbuatan pencangkokan mata tersebut jelas besar, yaitu membuat orang yang asalnya buta menjadi dapat melihat (haqiqiyah), dan tidak ada kepentingan orang lain yang terlanggar, artinya tidak ada hukum nash atau ijma yang dilanggar. Pencangkokan itu sendiri telah dibuktikan secara ilmiah mungkin dilakukan (ma’qulah). Dan yang pasti ini bukan termasuk persoalan ibadah (taabbudi). Dengan demikian mujtahid dapat menyatakan kebolehan pencangkokan kornea mata.

Leave a Reply