A.Pendahuluan
Melakukan kegiatan ekonomi adalah salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia, baik yang sudah modern maupun yang masih tradisional. Sebab secara sederhana, ber-ekonomi berarti aktivitas untuk mengadakan, memperoleh, mendistribusikan dan menyimpan barang atau benda yang dibutuhkan oleh manusia. Sehingga dapat dikatakan, tiap-tiap masyarakat pasti memiliki sistem mereka masing-masing dalam masalah ini.
Dunia mengenal sistem ekonomi materialisme atau sistem ekonomi sosialisme, sebagaimana dunia sekarang juga mengakui bahwa Islam juga memiliki suatu sistem perekonomian yang sangat jelas sebagaimana yang pernah diberlakukan oleh Rasulullah dan para sahabat serta generasi sesudahnya.
Tulisan ini merupakan rangkuman dari buku Dr. Yusuf Al-Qaradhawi berjudul Malamih al-Mujtama’ al-Islami yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah, khusus pada pasal 9 yang mengangkat tema ‘Perekonomian Dan Harta Kekayaan’. Dengan membahas tema ini diharapkan kaum muslimin akan mendapatkan gambaran yang utuh tentang apa dan bagaimana sesungguhnya sistem ekonomi Islam yang kini mulai dilirik banyak kalangan.
B.Sistem Ekonomi Islam di antara Sistem Ekonomi Modern
Secara usia pelaksanaan, sesungguhnya ekonomi Islam jauh lebih senior 12 abad lamanya dari sistem-sistem ekonomi lainnya, itulah mengapa sistem ekonomi selain Islam itu disebut sebagai sistem ekonomi modern. Tapi istilah modern disini hanyalah untuk menunjuk suatu rentang masa tertentu, dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan keunggulan sistem itu sendiri. Hal ini perlu ditegaskan agar kita tidak silau dengan istilah modern yang sejatinya belum tentu baik dan benar.
Paling tidak ada dua faham ekonomi yang banyak dianut masyarakat dunia sekarang ini, yaitu materialisme dan sosialisme. Kedua faham ini saling berseberangan satu sama lain, ibarat dua kutub, yang satu berada di utara sedang lainnya berada di selatan.
Faham ekonomi materialisme tegak di atas pengkultusan terhadap kebebasan individu dan terlepas dari segala ikatan. Setiap individu bebas memiliki, mengembangkan, dan menggunakan dengan berbagai sarana yang dimiliki tanpa adanya aturan dan pembatasan. Sebaliknya faham ekonomi sosialisme justru menghilangkan kebebasan individu dalam hal kepemilikan. Faham ini menganggap seluruh harta kekayaan dan sumber produksi yang ada adalah milik Negara. Sehingga tidak seorangpun yang berhak memiliki tanah, perusahaan, atau sarana produksi lainnya. Setiap orang bekerja sebagai pegawai pemerintah dan akan mendapatkan gaji dari pemerintah.
Faham sosialisme sesungguhnya merupakan anti thesis dari faham ekonomi materilisme yang dianggap melebarkan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, sebab dalam faham materilisme, seseorang dipacu untuk mencari keuntungan dan kekayaan sebanyak yang bisa didapatkan meskipun akan menjadikan orang lain dalam kerugian. Faham sosialisme tegak di atas kebencian kaum proletar (rakyat kecil) terhadap kalangan borjuis, orang-orang kaya para pemilik modal.
Adapun sistem ekonomi Islam, secara gamblang sejarah berbicara bahwa Islam dengan seluruh ajarannya tegak di atas persaudaraan antar manusia dan menganggap mereka semua satu saudara. Islam memberi pengakuan terhadap keberadaan hak-hak individu dalam hal kepemilikan harta benda, sambil meletakkan batas-batasnya agar tidak terjadi kezaliman yang mungkin muncukl dari sifat rakus dan egois manusia. Demikianlah Islam melarang membahayakan diri dan membahayakan orang lain dalam segala bentuknya. Dalam hal ini, Islam telah sukses mengawinkan kegiatan ekonomi yang cenderung pragmatis dengan akhlaq dan nilai-nilai kemuliaan.
C.Tujuan dan Urgensi Ekonomi Islam
Jika dilakukan komparasi, maka akan didapatkan suatu perbandingan yang sangat jauh antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya dari segi semangat, pondasi, tujuan, orientasi, bahkan juga dalam urgensi dan fungsinya. Hal ini dapat dimengerti, sebab secara sumber Islam datang dari Sang Pencipta manusia, yaitu Allah SWT, sedangkan sistem selain Islam lahir dari olah fikir manusia yang sangat terbatas dan didorong oleh kepentingan sesaat.
Jika sistem-sistem yang telah disebutkan terdahulu menjadikan ekonomi sebagai orientasi hidup, harta kekayaan sebagai pusat perhatian, kesenangan materi sebagai tujuan. Maka Islam meyakini aktivitas ekonomi hanyalah sebuah sarana pendukung agar manusia dapat melaksanakan tugas pengabdian kepada Allah dengan baik dan lebih mudah, sehingga harta kekayaan yang ada menjadikan seorang muslim lebih konsentrasi dan tenang dalam beribadah.
Oleh karena ekonomi hanyalah suatu sarana pendukung bagi nilai-nilai dasar Islam yaitu, aqidah, ibadah dan akhlaq karimah, maka jika terjadi gesekan tujuan dan kepentingan di antara keduanya, maka sudah pasti nilai-nilai dasar tersebut harus lebih diutamakan di atas apapun. Sebagai contoh, keberadaan tempat tempat hiburan malam tentu menghasilkan manfaat secara ekonomi, namun jika dengan keberadaan tempat hiburan semacam itu dapat merusak akhlaq masyarakat, maka Islam akan berkata tidak bagi tempat hiburan tersebut. Sebagaimana Allah melarang minum khamer meskipun pada minuman tersebut ada manfaat, tapi kerusakannya lebih besar dari pada manfaatnnya.
Jika membandingkan ekonomi Islam dengan yang lainnya, maka akan didapat kesimpulan sistem ekonomi Islam berada ditengah-tengah antara kedua sistem lainnya, Islam tidak ifrath (berlebihan dalam pembolehan) dan tidak juga tafrith (berlebihan dalam pelarangan), tapi Islam tawazun (seimbang) antara memberi kebebasan dan pembatasan, antara hak dan kewajiban, anyara individu dan masyarakat, antara ruhani dan jasmani dan antara dunia dan akhirat.
D.Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Untuk mengetahui lebih jauh, apa dan bagaimana sebenarnya sistem ekonomi Islam, berikut ini akan diulas beberapa prinsip atau kaidah yang menjadi landasan ekonomi dalam masyarakat Islam:
1.Harta adalah sarana memenuhi kebutuhan dan melaksanakan kewajiban.
Dalam pandangan Islam harta bukanlah tujuan hidup. Keberadaan harta diperlukan sebagai pilar penegak kehidupan (QS. 4:5), yaitu sarana untuk dapat memenuhi hajat hidup manusia dan juga agar kewajiban-kewajiabn yang dibebankan kepada mereka dapat dilaksanakan dengan baik. Oleh karena itu, dalam beberapa ayat Alqur’an, harta disebut juga dengan istilah ‘khairan’ yang berarti suatu kebaikan (QS. 2:215).
Kekayaan berupa harta benda termasuk salah satu karunia kenikmatan yang Allah akan berikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa (QS. 9:28). Sebaliknya kemiskinan merupakan salah satu cara Allah untuk menimpakan musibah terhadap mereka yang berpaling dan kufur terhadap nikmat-Nya (QS. 16:21).
Akhirnya, manfaat atau tidaknya harta kekayaan akan sangat tergantung kepada siapa yang mengendalikannya. Di tangan orang-orang shalih, harta akan mendatangkan kebaikan bagi diri pemiliknya dan juga bagi orang lain. Dan sebaliknya akan mendatangkan keburukan jika harta berada di tangan-tangan para pelaku maksiat. Sebagaimana sabda Rasulullah: ”Sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki hamba yang shalih”(HR. Ahmad)
2.Hakikat harta itu adalah milik Allah.
Hal penting yang harus difahami tentang harta dalam Islam adalah bahwa pada hakikatnya harta itu adalah milik Allah SWT sedangkan manusia hanya diberi amanah untuk mengelola harta tersebut secara baik, harta adalah titipan atau pinjaman dari Allah SWT (QS. Al-Hadid 7).
Implikasi dari pemahaman tersebut adalah, manusia sepantasnya tidak menyandarkan harta itu pada dirinya karna telah mendapatkan dari hasil jerih payahnya. Begitu juga seharusnya mereka menyadari bahwa di dalam harta tersebut terdapat pula hak-hak orang lain serta menggunakannya sesuai aturan dan perintah Sang Pemiliknya.
3.Motivasi untuk berusaha dan bekerja.
Karena harta merupakan sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan dan untuk melaksanakan kewajiban dalam hidup mereka, maka Islam mendorong agar kita harus memperoleh harta itu dengan cara berusaha dan bekerja (QS. Al-Mulk 15).
Allah melarang hamba-hamba-Nya putus asa dalam berusaha atau malas dalam bekerja dan lebih mengandalkan pemberian serta belas kasihan orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagaimana sabda Rasulullah: “ Tangan di atas itu lebih baik dari pada tangan yang dibawah”.
4. Hasil Pekerjaan Kotor Adalah Haram
Ketika Allah memerintahkan kita untuk bekerja dan berusaha, maka kerja dan usaha yang dikehendaki-Nya adalah kerja dan usaha yang baik dan halal. Islam tidak membenarkan usaha yang mengandung unsur kezaliman dan merugikan orang lain, atau hasil dari sesuatu yang haram, Rasulullah mengingatkan dalam hal ini: “ Setiap tubuh yang tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih utama baginya”. (HR. Ahmad)
Dalam memperoleh harta, Islam mengarahkan ada tiga hal yang harus benar, yaitu niat, tujuan dan cara. Maksudnya harta harus di dapat dengan niat yang bagus, tujuan yang mulia dan cara yang halal, seperti disebutkan dalam hadis; “ Sesungguhnya Allah itu Thayyib (baik), tidak menerima (suatu amal) kecuali yang baik (halal)” (HR. Ahmad).
5.Pengakuan terhadap kepemilikan pribadi.
Islam mengakui adanya hak milik pribadi setiap orang, karena Allah telah menjadikan manusia mempunyai fitrah atau naluri senang untuk memiliki apa saja yang diinginkannya (QS. Ali Imran 14). Keinginan-keinginan tersebut –dalam batas-batas tertentu- berimplikasi positif, membuat manusia menjadi dinamis dan terus berusaha meningkatkan kesejahteraan dirinya. Demikian juga, kepemilikan pribadi sesungguhnya merupakan perwujudan dari kemerdekaan dan kemanusiaan.
Sudah sepantasnya bagi seseorang yang telah bekerja dan berusaha dengan baik dan sungguh-sungguh untuk mendapatkan imbalan yang sesuai dari jerih payahnya tersebut. Karenanya Islam tidak pernah melarang seseorang untuk memiliki kekayaan karna hasil usahanya, selama itu didapat dari kerja yang baik dan halal.
Namun jika kepemilikan pribadi tersebut berhadapan dengan kepentingan umum, maka Islam memerintahkan agar sang pemilik untuk berlapang dada melepaskan kepemilikan itu dengan cara-cara yang disepakati. Hal ini pernah terjadi di masa Umar ibn Al-Khaththab yang meminta agar para pemilik kebun di sekitar Masjidil Haram menjual kebun-kebun mereka untuk kepentingan perluasan masjid tersebut. Dan ketika ada di antara mereka yang menolak, Umar lalu mengambilnya secara paksa.
6. Keharaman Monopoli Barang Kebutuhan Pokok
Meskipun Islam mengakui adanya hak milik individu terhadap berbagai macam barang atau benda, namun Islam juga memberi batasan bahwa segala macam barang atau benda yang dibutuhkan masyarakat tidak boleh terjadi monopoli oleh seaeorang atau sekelompok orang yang akan menyusahkan bagi orang lain untuk mendapatkannya.
Praktik monopoli akan berefek terjadinya permainan harga di pasaran oleh si penyimpan barang tersebut, di mana hal ini akan berpotensi menimbulkan berbagai kezaliman, konflik dan pertentangan di tengah-tengah masyarakat.
7.Larangan egoistis dalam kepemilikan yang dapat merugikan orang lain
“Tidak ada bahaya dan tidak boleh membahayakan” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah), adalah sebuah hadis Rasulullah yang telah menjadi salah satu kaidah fikih yang sangat dikenal. Islam telah menjadikan bahwa hubungan kemanusiaan akan berjalan baik jika sikap egoistis dapat dikikis, sebab sikap demikian hanya akan merugikan orang lain dan juga akhirnya merugikan diri sendiri.
Di masa Umar ibn Al-Khaththab pernah terjadi suatu kasus antara Dhahhak ibn Khalifah dengan Muhammad ibn Maslamah. Dhahhak memiliki sebidang tanah yang tidak mendapatkan pengairan kecuali melewati tahah Muhammad, Dhahhak meminta izin untuk membuat saluran air, namun Muhammad tidak mengizinkan. Khalifah Umar berusaha melakukan mediasi terhadap keduanya. Muhammad tetap menolak meskipun membuat saluran air sama sekali tidak merugikan dirinya. Akhirnya Umar memaksa Muhammad dengan berkata; “Demi Allah, Dhahhak harus membuat saluran, meskipun harus melangkahi perutmu”.(HR. Malik dan Baihaqi).
Kasus di atas adalah contoh yang bagus tentang berlakunya prinsip larangan egoistis dalam kepemilikan yang dapat merugikan orang lain. Dan menjadi jelas bahwa seorang muslim seharusnya tidak menghalangi saudaranya sesama muslim untuk mendapatkan manfaat, selama dilakukan dengan cara yang benar. Dan jika itu terjadi, pemerintah mempunyai hak untuk memaksakan keputusannya jika tidak ada jalan lain kecuali dengan tindakan tersebut.
8. Etika Mengembangkan Harta.
Islam sangat menganjurkan kepada para pemilik harta untuk mengembangkan harta mereka dan tidak membiarkan habis dimakan atau dipakai, atau musnah karena rusak, atau diam sia-sia tidak memberi manfaat. Maka tidak boleh pemilik tanah umpamanya, menelantarkan tanah mereka, yang jika digarap dapat menghasilkan tanaman yang bernilai ekonomis. Begitu juga seorang pemilik modal (uang) dapat mengelola uangnya dalam suatu bisnis atau menginvestasikannya sehingga tidak habis terpotong zakat.
Dan ketika seorang muslim mengembangkan harta kekayaannya, ia juga tidak boleh melupakan beberapa ketentuan yang penting dalam hal ini:
a. Tidak riba QS. 278-279); Allah melarang riba, karena hanya akan menguntungkan satu pihak tapi menjadikan pihak lain merugi.
b. Tidak menimbun (di saat orang lain membutuhkan), karena perbuatan tersebut ibarat membangun diri di atas penderitaan orang lain. Sebuah hadis menyatakan; “ Tidak menimbun kecuali orang yang berdosa” (HR. Muslim).
c. Tidak menipu, Rasulullah bersabda; “Barang siapa melakukan kecurangan (menipu) maka bukan termasuk ummatku”(Muslim).
d. Bukan barang-barang yang diharamkan; karena jika Allah mengharamkan sesuatu, maka Allah juga mengharamkan harganya.
e. Tidak bertentangan dengan akhlaq
9. Mewujudkan Kemandirian Ekonomi Ummat
Ketika ummat mandiri secara ekonomi, maka mereka akan memiliki izzah, karena mereka tidak akan tergantung dan dikendalikan ummat lain. Oleh karena itu, ummat Islam harus memiliki berbagai pengalaman, kemampuan, sarana, dan peralatan yang menjadikannya mampu untuk berproduksi guna memenuhi kebutuhannya, baik secara materi atau non materi.
Para ulama menyebutkan penguasaan terhadap hal-hal tersebut hukumnya fardlu al-kifayah (kewajiban yang jika telah ada yang melaksanakan dapat mengugurkan tuntutan bagi yang tidak melaksanakan), yang meliputi ilmu pengetahuan, profesi, kerajinan atau keterampilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia baik terhadap agama atau dunianya.
Bukan dinamakan ummat yang mandiri jika tidak mampu tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri; tidak memiliki kekuatan pertanian di atas lahannya sendiri, tidak memiliki obat untuk orang-orang yang sakit, tidak dapat menjalankan industri berat, tidak memiliki senjata, kecuali semuanya dengan mengimpor dan membeli peralatan dan tenaga ahli dari ummat lainnya.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar ummat dapat mandiri secara ekonomi:
a. Membuat perencanaan (planning) berdasar analisa data
b. Mempersiapkan SDM yang berkualitas dan menempatkannya dengan tepat
c. Memfungsikan asset yang ada dengan sebaik-baiknya
d. Konsolidasi antar cabang-cabang pruduksi
e. Mengoperasionalkan kekayaan harta( emas dan perak)
10.Sederhana dalam Membelanjakan Harta
Islam tidak melarang seorang muslim hidup secara layak dan menikmati kekayaannya, tapi yang dilarang adalah ‘berlebihan dalam menikmatinya’ atau sebaliknya ‘sama sekali tidak mau menikmatinya’ (QS. 25: 64 dan 5: 87). Untuk itu telah ada panduan dari Allah dalam hal membelanjakan harta sebagai berikut:
a. Tidak berlaku kikir terhadap diri sendiri dan keluarga.
b. Melaksanakan kewajiban dan tuntutan terhadap harta, seperti nafkah, zakat, menolong orang yang kesulitan, menjamu tamu, meminjami orang yang membutuhkan, dll.
c. Seimbang antara pemasukan dan pengeluaran. Ada rumusan yang bagus tentang hal ini, yaitu: Seseorang yang mengeluarkan hartanya untuk hal-hal yang mubah tidak boleh melebihi kemampuan pemasukannya, seseorang yang mengeluarkan harta untuk hal-hal yang haram adalah tabzir (kemubadziran) meski hanya satu rupiah, seseprang yang mengeluarkan hartanya untuk ketaatan tidaklah dikatakan israf (belebih-lebihan) sebanyak apapun selama tidak tidak menelantarkan hak yang lebih wajib, seperti nafkah kelurga dan membayar hutang.
d. Meredam keinginan bermewah-mewahan, yaitu terlalu berlebihan dalam menikmati harta kekayaan.
Sikap sederhana dalam belanja secara khusus juga harus diberlakukan kepada para pemimpin, mulai dari kepala negara dan para pejabat dibawahnya. Sebab mereka akan menjadi contoh bagi rakyatnya, apalagi mereka digaji dari uang rakyat, dari peluh dan keringat rakyat. Jangan sampai seorang pemimpin menganggap dapat melakukan apa saja terhadap harta Negara yang notabenenya adalah harta rakyat.
11.Jaminan Sosial (Takaful Ijtima’i)
Tuntutan untuk bekerja dan berpenghasilan dalam Islam, tidak lain agar setiap muslim bisa mencapai standart hidup layak. Namun tidak dapat disangkal, dalam setiap komunitas masyarakat, akan selalu ada orang-orang yang belum atau tidak mampu melakukan itu karena berbagai sebab.
Dalam kondisi demikian, maka pemerintahlah yang harus mengambil alih tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan mereka yang tidak beruntung ini dengan memberikan jaminan sosial (takaful ijtima’i). Takaful ijtima’i dalam Islam dimaksudkan agar agar setiap muslim dapat mencapai kualitas hidup yang baik. Dalam hal ini, pemerintah dan masyarakat dapat bekerja sama dalam pelaksanaannya. Dan itulah mengapa dalam Islam ada beberapa ketentuan seperti:
a. Nafkah kepada keluarga secara makruf.
b. Kewajiban zakat
c. Pemasukan negara dari sektor pajak dan sektor ‘real’
d. Partisipasi bantuan dari masyarakat yang mampu
e. Sedekah sunnah, seperti wakaf atau sedekah jariyah
Hal lain yang juga perlu diketahui oleh kaum muslimin, bahwa seharusnya takaful (saling menjamin)itu bukan hanya dalam rentang waktu dan wilayah yang terbatas saja, tapi takaful ini bersifat terus menerus dan berkelanjutan di antara negara-negara Islam. Inilah yang disebut takaful antar generasi (takaful aiyyaal), yang tidak dibatasi waktu dan tempat.
Takaful antar generasi adalah kepedulian generasi masa sekarang bagi keberlangsungan hidup generasi sesudahnya dengan cara tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau yang dapat mendatangkan kesengsaraan bagi mereka (QS. 4:8). Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam kecukupan itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan (yang kemudian) meminta-minta kepada manusia” (HR. Muttafaq alaih). Maka dengan demikian, selayaknya satu generasi tidak rakus dengan kekayaan bumi baik yang tersimpan maupun yang tersebar hanya untuk kepentingan hari ini saja, sementara ia tidak menyisakan sedikitpun untuk generasi setelahnya.
12.Mempersempit Perbedaan Antar Golongan
Telah menjadi ketentuan Allah bahwa dalam sebuah masyarakat akan selalu ada orang yang mempunyai kelebihan secara materi, dan sebaliknya ada juga yang kurang (QS. 16:71). Perbedaan ini tentu ada hikmahny, sebab dengan demikian antara satu orang dengan lainnya akan saling melengkapi. Ada pemimpin ada yang dipimpin, ada menejer ada pegawai, ada penjual ada pembeli, ada pembuat ada pemakai, dst.
Namun demikian, harus juga disadari bahwa perbedaan dalam masalah rizki, sering memicu timbulnya kecemburuan sosial. Untuk itu, Islam telah menyiapkan beberapa cara untuk mempersempit jurang kecemburuan tersebut sebagai berikut:
a. Larangan mengembangkan harta dengan cara-cara yang diharamkan; seperti riba, menimbun, menipu, dll.
b. Wajib zakat pada harta orang-orang kaya
c. Kewajiban-kewajiban lain bagi orang yang mampu; seperti qurban, santunan kepada keluarga dekat, melaksanakan nadzar dan kaffarat, dll.
d. Pembagian warisan dan pelaksanaan wasiat
e. Hak waliyyul amrisysyar’I, hak pemerintah untuk memberi kepada mereka yang membutuhkan bantuan yang diambil dari kas negara.
E.Penutup
Kajian tentang ekonomi Islam akhir-akhir ini demikian banyak dibahas oleh para pakar di bidangnya. Sehingga seolah-olah suatu temuan baru dalam dunia Islam. Apalagi seiring issu abad 15 Hijriyah sebagai abad kebangkitan Islam, kaum muslimin kembali mulai menengok kandungan agama mereka, mencari-cari permata yang selama ini mereka abaikan, dan secara perlahan mata mereka mulai terbelalak, bahwa ternyata segala macam konsep dan aturan modern yang mereka yakini keunggulannya, telah begitu lama diterapkan dalam masyarakat Islam generasi awal.
Kita semua berharap ke depan kaum muslimin akan kembali menggali ajaran Islam yang sempurna ini untuk dijadikan pedoman dalam seluruh aktivitas hidup mereka. Sudah terlalu lama kita mem-bebek sistem hidup yang jauh dari nilai-nilai Islam karena menganggap itu lebih baik. Tapi Allah membuktikan bahwa kebenaran Islam ibarat cahaya matahari di siang terik yang kilaunya tidak dapat dihalangi oleh apapun. Akhirnya manusia akan mengakui keunggulan sistem buatan Allah ini cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung, terus terang atau malu-malu.
Selanjutkan, apakah kita yang mengaku sebagai ummat Islam ini akan terus berjuang meninggikan kalimat-Nya, mengusung panji-panji-Nya, dan mendakwahkan kalimat-Nya. Sebab jika tidak, sebagaimana janji Allah, akan selalu ada dari ummat ini yang siap melakukan itu semua. Maka jika anda melalaikan tugas ini, akan ada orang lain yang mengantikan peran anda, yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah. Wallahu a’lam.
Sabtu, 28 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)